Rabu, 01 Maret 2017

PENGHIMPUNAN ALQURAN PADA MASA RASULULLAH SAW



BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Penghimpunan Al-Qur’an bisa dikategorikan menjadi dua hal: Pertama, penghafalan Al-Qur’an, dan kedua, penulisannya huruf demi huruf, ayat demi ayat, dan surat demi surat, baik dalam lembaran-lembaran yang sudah dibukukan dalam satu mushaf.
Penghimpunan Al-Qur’an dalam sejarahnya berlangsung selama tiga periode.[1] (1) Pada masa Rasulullah SAW, (2) pada masa khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq RA, dan (3) pada masa khalifah Utsman bin Affan RA. Masing-masing periode memiliki ciri-ciri sendiri. Periode pertama ditandai dengan penghafalan dan penulisan Al-Qur’an di atas media-media sederhana (seperti tulang dan kulit binatang, pelepah kurma, dan lain-lain. Periode kedua ditandai dengan pembukuan Al-Qur’an dalam sebuah mushaf oleh panitia tunggal Zaid bin Tsabit. Periode ketiga ditandai dengan pembukuan Al-Qur’an dalam beberapa mushaf dengan sistem penulisan yang akomodatif terhadap qiraat sab’at, yang kemudian dikirim ke beberapa wilayah untuk menjadi mushaf standar bagi umat islam.
2.      Rumusan Masalah
a.       Bagaimana sejarah penghimpunan Al-Qur’an pada masa Rasulullah SAW?
b.      Bagaimana sejarah penghimpunan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar Ash-Shiddiq RA?
c.       Bagaimana sejarah penghimpunan Al-Qur’an pada masa Utsman bin Affan RA?
3.      Tujuan Penulisan
a.       Mengetahui sejarah penghimpunan Al-Qur’an pada masa Rasulullah SAW.
b.      Mengetahui sejarah penghimpunan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar Ash-Shiddiq RA.
c.       Mengetahui sejarah penghimpunan Al-Qur’an pada masa Utsman bin Affan RA.


BAB II
PEMBAHASAN
1.      Sejarah Penghimpunan Al-Qur’an pada Masa Nabi SAW
Rasulullah adalah penghafal Qur’an pertama dan merupakan contoh paling baik bagi para sahabat dalam menghafalnya, sebagai realisasi kecintaan mereka kepada pokok agama dan sumber hukum. Qur’an diturunkan selama dua puluh tahun lebih. Proses penurunannya terkadang hanya turun satu ayat dan terkadang turun sampai sepuluh ayat. Setiap kali sebuah ayat turun, dihafal dalam dada dan ditempatkan dalam hati, sebab bangsa Arab secara kodrati memang mempunyai daya hafal yang kuat.[2] Hal itu dikarenakan umumnya mereka buta huruf, sehingga dalam penulisan berita-berita, syair-syair, dan silsilah mereka dilakukan dengan mencatat di hati mereka.
Para sahabat berlomba-lomba menghafal ayat-ayat yang diturunkan. Mereka saling membantu dan berbagi hafalan. Sehingga jumlah mereka yang hafal Qur’an tidak terhitung jumlahnya. Di antaranya Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Thalhah, Sa’ad, Ibnu Mas’ud, Huzaifah, Salim Maula Abi Huzaifah, Abu Hurairah, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Amru bin Ash, Abdullah bin Amru, Muawiyah, Ibnu Zubair, Abdullah bin Saib, Aisyah, Hafshah, Ummu Salamah (semuanya dari kaum Muhajirin), Ubay bin Ka’ab, Muadz bin Jabal, Zaid bin Tsabit, Abu Darda’, Anas bin Malik, Abu Zaid, dan lain-lain dari golongan penghafal.
Banyaknya para sahabat yang hafal Qur’an tidaklah mengherankan karena pertama, secara tradisi mereka sudah terbiasa dan terlatih menghafal, terutama menghafal syair-syair dan garis keturunan. Kedua, mereka sangat mencintai Qur’an. Ketiga, fasilitas tulis-menulis masih sangat terbatas.[3]
Media yang dipakai kala itu memang sederhana sekali, bahkan seadanya, mengingat fasilitas yang sanagat terbatas. Misalnya pelepah kurma, batu tipis, kulit binatang, daun kering, dan lain-lain. Penulisan kala itu mencakup Al-Ahruf As-Sa’bah sebagaimana Qur’an diturunkan, mencakup yang dinasakh tilawahnya (mansukh at-tilawah), sebagian hanya berdasarkan urutan surat dan ayat dan tidak terkumpul dalam mushaf atau suhuf.
Sekali pun ayat-ayat yang turun dituliskan oleh para penulis wahyu, tetapi yang menjadi acuan utama dalam transfer Qur’an dari Rasul kepada sesama umat Islam bukanlah tulisan tersebut, melainkan hafalan atau periwayatan secara lisan. Faktor-faktor yang mendorong penulisan Qur’an pada masa Nabi antara lain:
a.       Memperbanyak hafalan, baik Nabi maupun sahabat
b.      Mempresentasikan wahyu dengan cara yang paling sempurna, karena mengandalkan hafalan saja tidak cukup, karena di antara mereka ada yang lupa atau telah wafat. Sedangkan tulisan akan tetap terpelihara.
Sementara itu, penulisan Quran pada masa Nabi tidak terkumpul dalam satu tempat saja, tetapi terpisah. Hal ini dikarenakan proses turunnya Qur’an saat itu masih berlangsung, sehingga terdapat kemungkinan ayat yang turun di belakang menghapus (menasakh) redaksi atau hukum ayat yang turun sebelumnya. Juga karena adanya penertiban ayat-ayat dan surat-surat, karena sistematika penulisan Qur’an tidak disusun menurut kronologi turunnya, tapi menurut keserasian antara ayat yang satu dan ayat lain. Oleh karena itu terkadang surat yang turunnya lebih akhir berada di depan dan sebaliknya ayat yang turun awal berada di depan.
2.      Sejarah Penghimpunan Al-Qur’an pada Masa Abu Bakar Ash-Shiddiq RA
Penghimpunan Qur’an pada masa Abu Bakar berawal dari inisiatif Umar bin Khatthab. Umar khawatir akan banyaknya para penghafal yang gugur dalam beberapa peristiwa, seperti peristiwa Yamamah dan Sumur Ma’unah. Keadaan tersebut kalau tidak segera diantisipasi dapat berakibat fatal bagi kelangsungan Islam untuk masa yang akan datang. Oleh sebab itu, Umar mengusulkan kepada Abu Bakar untuk mengumpulkan Qur’an dalam satu mushaf. Semula Abu Bakar keberatan karena dikhawatirkan termasuk perbuatan bid’ah, sebab Rasul tidak pernah memerintahkan perbuatan tersebut. Tetapi, Umar berhasil meyakinkan Abu Bakar bahwa perbuatan tersebut hanyalah meneruskan apa yang telah dirintis oleh Rasul sendiri, karena beliau telah memerintahkan kepada para penulis wahyu agar menulis semua ayat yang turun.
Abu Bakar menganggap bahwa seseorang yang paling tepat melakukan tugas tersebut adalah Zaid bin Tsabit, karena Zaid termasuk barisan penghafal Qur’an dan sekaligus salah seorang penulis wahyu yang ditunjuk oleh Rasul SAW, apalagi dia menyaksikan tahap-tahap akhir Qur’an diturunkan kepada Rasul SAW. Zaid juga terkenal cerdas, sangat wara’, amanah, dan istiqamah. Umar pun menyetujui keputusan Abu Bakar tersebut.
Seperti halnya Abu Bakar, Zaid pun semula ragu menerima tugas tersebut. Tetapi setelah diyakinkan oleh Abu Bakar, akhirnya dia bersedia melaksanakannya di bawah bimbingan Abu Bakar, Umar, dan para sahabat senior lainnya. Dalam melaksanakan tugasnya, Zaid mengikuti metode yang digariskan oleh Abu Bakar dan Umar, yaitu mengumpulkan Qur’an dengan tingkat akurasi tinggi dan hati-hati. Sumber yang digunakan pun tidak cukup hafalan dan catatan yang dibuat oleh Zaid sendiri, tetapi menggunakan catatan-catatan yang pernah dibuat pada zaman Rasul dan hafalan para sahabat. Setiap sumber harus dikuatkan oleh dua orang saksi yang dipercaya.[4] Kemudian tersusunlah sebuah mushaf yang dikumpulkan dengan tingkat akurasi tinggi dari sumber yang mutawatir dan diterima secara ijma’ oleh umat Islam saat itu. Ayat-ayat yang sudah dinasakh tidak lagi dituliskan. Ayat-ayat sudah disusun sesuai dengan urutannya berdasarkan petunjuk Rasulullah SAW, tetapi surat demi surat belum tersusun sebagaimana mestinya.
3.      Sejarah Penghimpunan Al-Qur’an pada Masa Utsman bin Affan RA
Pengumpulan Qur’an pada masa Utsman dilatarbelakangi oleh meluasnya perbedaan pendapat di antara kaum Muslim tentang penulisan dan bacaan Qur’an yang benar, terutama setelah wilayah Khilafah Islamiyah semakin meluas ke bagian utara dan Afrika Utara. Umat Islam kala itu memiliki perbedaan dialek dalam membaca Qur’an sesuai dengan asal daerahnya. Misalnya umat Islam di Syam mengikuti bacaan Ubay bin Ka’ab, di Kufah mengikuti bacaan Abu Musa Al-Asy’ari, dan sebagainya. Perbedaan seperti itu menjadi masalah bagi sebagian umat Islam, terutama yang tidak mengerti dan tidak tahu  bahwa Qur’an diturunkan dalam beberapa versi qira’at. Kekhawatiran Utsman dapat terbaca jelas dalam pidatonya waktu itu: “Anda semua yang dekat denganku berbeda pendapat, apalagi orang-orang yang bertempat tinggal jauh dariku, mereka pasti lebih berbeda lagi”. Hadits riwayat Abu Daud.
Utsman segera berinisiatif untuk membentuk tim penulisan kembali Qur’an ke dalam beberapa mushaf dengan acuan utama Mushaf Abu Bakar. Tim tersebut terdiri dari Zaid bin Tsabit sebagai ketua, dengan anggota Abdullah bin Zubair, Sa’id bin Ash, dan Abdurrahman bin Harits bin Hisyam. Ketiga anggota berasal dari suku Quraisy, berbeda dengan Zaid yang berasal dari Madinah. Utsman mengatur komposisi tersebut karena apabila terjadi perbedaan pendapat dengan Zaid, maka masih ada tiga orang Quraisy yang memenangkan perbedaan tersebut. Hal ini dilakukan karena Qur’an diturunkan dalam logat Quraisy.
Jika mushaf yang ditulis pada masa Abu Bakar sudah disusun ayat demi ayat sesuai dengan urutannya yang tauqifi, tetapi surat demi suart belum disusun  sesuai dengan urutannya maka tim tersebut menyempurnakan dengan menyusun surat demi surat sesuai dengan urutannya.
Setelah pekerjaan tim selesai, Utsman mengirim mushaf-mushaf tersebut ke beberapa wilayah untuk dijadikan sebagai standar. Utsman memerintahkan agar semua mushaf milik pribadi yang berbeda dengan mushaf miliknya harus dibakar, jika gagal dalam menghapuskan mushaf-mushaf ini maka dapat memicu munculnya perselisihan kembali.[5]


BAB III
PENUTUP
1.      Kesimpulan
Penghimpunan Al-Qur’an dalam sejarahnya berlangsung selama tiga periode. Pertama, pada masa Rasulullah SAW, kedua pada masa khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq RA, dan ketiga pada masa khalifah Utsman bin Affan RA. Masing-masing periode memiliki ciri-ciri sendiri.
Dengan memahami keperluan dokumentasi tiap ayat, masyarakat Muslim yang telah mencapai urutan huffaz telah membuat sistem hafalan sebagai penangkal pengaruh yang merusak. Pada periode Mekkah dengan laju penindasan yang  begitu kuat, tidak mampu memusnahkan Qur’an yang pada akhirnya umat Islam menikmati kemajuan Madinah, baik yang bisa membaca maupun yang buta huruf dapat mengambil bagian dalam menghafal Qur’an. Di tengah mereka tinggal Rasul terakhir yang mendiktekan, menjelaskan, menyusun ayat melalui inspirasi ketuhanan dengan status privilege (hak istimewa), semua ayat di dalamnya menjadi sempurna.
Pengabdian Abu Bakar terhadap Qur’an pun sangat mengagumkan, beliau sangat memperhatikan instruksinya tentang dua saksi untuk membangun otentisitas dan mempraktikkan ini dalam kompilasi Qur’an itu sendiri. Alhasil, walaupun ditulis di atas kertas yang tidak sempurna, hal ini menunjukkan bahwa keikhlasan dalam usahanya untuk memelihara Qur’an.
Usaha Utsman yang sungguh-sungguh jelas tampak berhasil dan dilihat dari dua cara: pertama, tidak ada mushaf di provinsi Muslim kecuali Mushaf Utsmani yang telah menyerap ke darah daging mereka; kedua, mushaf atau kerangka teksnya dalam jangka waktu empat belas abad tidak bisa dirusak. Sampai hari ini terdapat banyak mushaf yang dinisbatkan langsung kepada Utsman, artinya bahwa mushaf-mushaf tersebut asli atau salinan resmi dari yang asli.


DAFTAR PUSTAKA
            Al-A’zami, Muhammad Mustafa. 2005. The History: The Qur’anic Text from Revelation to Compilation. Jakarta: Gema Insani Press
            Al-Qattan, Manna’ Khalil. 2013. Studi Ilmu-ilmu Qur’an. Bogor: Pustaka Litera Antarnusa
            Ilyas, Yunahar. 2013. Kuliah Ulumul Qur’an. Yogyakarta: Itqan Publishing.


[1]Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Itqan Publishing), hlm 81.
[2] Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, (Bogor: Pustaka Litera Antarnusa), hlm 179-180.
[3] Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Itqan Publishing), hlm 84.
[4] Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Itqan Publishing), hlm 87.
[5] Muhammad Mustafa Al-A’zami, The History: The Qur’anic Text from Revelation to Compilation, (Jakarta: Gema Insani Press), hlm 108.

NASIKH MANSUKH



  1. Pengertian Nasakh, Nasikh & Mansukh
Berdasarkan buku Studi Al-Qur’an yang disusun oleh Tim Penyusun MKD UIN Sunan Ampel Surabaya, “Nasakh” secara bahasa dapat diartikan menghapus, menghilangkan, mengganti, menukar, memalingkan, memindahkan, menyalin, dan mengutip.
Belum ada kesepakatan di antara para ulama mengenai pengertian nasakh, baik menurut bahasa ataupun istilah, sehingga banyak terdapat makna untuk masing-masingnya. Menurut etimologi, kata “Nasakh’ mempunyai sedikitnya empat macam makna, sebagai berikut:
a)      Menghapuskan sesuatu atau menghilangkannya.
b)      Memindahkan sesuatu yang tetap sama.
c)      Menyalin/mengutip.
d)     Mengubah dan membatalkan sesuatu dengan menempatkan sesuatu yang lain sebagai gantinya.
Dari empat macam arti di atas, ternyata hanya ada satu arti “Nasakh” yang relevan dengan arti menurut istilah, yakni mengubah sesuatu ketentuan/hukum dengan cara membatalkan ketentuan hukum yang ada,  diganti dengan hukum baru yang lain ketentuannya (Abdul Djalal, 2013:111).
Para ulama pun berbeda pendapat dalam menentukan makna “Nasakh” menurut istilah. Setidaknya ada empat macam pengertian “Nasakh” menurut istilah, sebagai berikut:
a)      Nasakh secara umum, yaitu membatalkan hukum yang diperoleh dari ketentuan dalil yang pertama, dibatalkan dengan ketentuan ketentuan dalil yang datang kemudian.
b)      Nasakh secara singkat, yaitu menghapuskan hukum syarak dengan memakai dalil syarak juga.
c)      Nasakh secara lengkap, yaitu menghapuskan hukum syarak dengan memakai dalil syarak dengan adanya tenggang waktu, dengan catatan kalau sekiranya tidak ada nasikh itu, tentulah hukum yang pertama akan tetap berlaku.
d)     Definisi nasakh yang salah, seperti yang diberikan sebagian ulama yang kurang setuju adanya nasakh. Mereka mendefinisikan dengan membatasi keumuman nash yang terdahulu atau menentukan arti lafal mutlaknya dengan nash yang kemudian.
Sedangkan “Nasikh” menurut bahasa berarti sesuatu yang menghapuskan, menghilangkan, atau yang memindahkan atau yang mengutip/menyalin serta mengubah dan mengganti. Jadi, hampir sama dengan pengertian nasakh menurut bahasa seperti yang telah diterangkan di atas. Bedanya, nasakh itu adalah masdar, sedangkan nasikh adalah isim fa’il, yang berarti pelakunya. Ada beberapa hal yang terdapat dalam naskh (Ahmad Syadali, 2000:160-161), antara lain:
a)      Nasakh yang terdapat pada perintah dan larangan
b)      Nasakh tidak terdapat dalam akhlak dan adab yang didorong Islam adanya.
c)      Tidak terjadi pada akidah, seperti zat-Nya, sifat-Nya, kitab-kitab-Nya, hari akhir
d)     Tidak pula mengenai khabar sharih (yang jelas dan nyata). Umpamanya mengenai janji baik Allah SWT bagi orang yang bertakwa adalah masuk surga, dan janji jahat Allah SWT bagi orang yang mati kafir atau musyrik adalah neraka.
e)      Tidak terjadi mengenai ibadat dasar dan muamalat, karena semua agama tidak lepas dari dasar-dasar ini.
Ada dua makna Nasikh menurut istilah, yaitu:
a)      Nasikh ialah hukum syarak atau dalil syarak yang  menghapuskan/mengubah hukum/dalil syarak yang terdahulu dan menggantinya dengan ketentuan hukum baru yang di bawahnya.
b)      Nasikh ialah Allah SWT. Artinya, bahwa sebenarnya yang menghapus dan menggantikan hukum-hukum syarak itu pada hakikatnya ialah Allah SWT, tidak ada yang lain. Sebab, dalam hukum syarak itu hanya dari Allah SWT, tidak dari yang lain, dan juga tidak diubah atau diganti oleh yang lain.
Sementara makna Mansukh menurut etimologi berarti yang dihapus, yang digantikan atau yang diubah (Kadar M. Yusuf, 2012:108). Sedangkan menurut istilah para ulama, mansukh ialah hukum syarak yang diambil dari dalil syarak yang pertama, yang belum diubah dengan dibatalkan dan diganti dengan hukum dari syarak baru yang datang kemudian. Tegasnya, dalam mansukh itu adalah berupa ketentuan hukum syarak pertama yang telah diubah dan diganti dengan yang baru, karena adanya perubahan situasi dan kondisi yang menghendaki perubahan dan penggantian hukum tadi.
Dari definisi-definisi yang ada, para ahli ushul fiqih menyatakan bahwa naskh bisa dibenarkan bila memenuhi kriteria berikut (Rosihon Anwar, 2013:165) :
a)      Pembatalan harus dilakukan melalui tuntutan syarak yang mengandung hukum dari Allah dan Rasul-Nya yang disebut nasikh (yang menghapus). Dengan demikian, habisnya masa berlaku hukum yang disebabkan wafatnya seseorang tidak dinamakan naskh.
b)      Yang dibatalkan adalah syarak yang disebut mansukh (yang dihapus).
c)      Nasikh harus datang kemudian (terakhir) dari mansukh. Dengan demikian, istisna (pengecualian) tidak disebut naskh.
Disimpulkan dari berbagai uraian di atas, bahwa dalam naskh diperlukan syarat-syarat berikut:
a)      Hukum yang mansukh adalah hukum syarak
b)      Dalil penghapusan hukum tersebut adalah khitab syar’i yang datang lebih kemudian hari dari khitab yang hukumnya mansukh
c)      Khitab yang mansukh hukumnya tidak terikat/dibatasi dengan waktu tertentu. Sebab jika tidak demikian maka hukum akan berakhir dengan berakhirnya waktu tersebut. Dan yang demikian tidak dinamakan naskh (Manna’ Khalil al-Qattan, 2011:327).

  1. Kontroversi Tentang Adanya Nasikh-Mansukh dalam Al-Qur’an
Adanya Nasikh-Mansukh masih mengandung kontroversi baik dari segi teori maupun pendapat para ulama. Beberapa kontroversi Nasikh-Mansukh dari segi teori adalah sebagai berikut:
a)      Munculnya isu Nasikh-Mansukh dalam as-Sunnah
b)      Para sahabat menggunakan istilah Nasikh-Mansukh dalam Al-Qur’an dan yang dikehendaki ialah pentakhsisan dari yang’Am, pentaqyidan dari yang mutlak, dan pentafsilan dari yang mujmal.
c)      Adanya ayat-ayat yang sepintas menunjukkan gejala kontradiksi.
Tanggapan atas teori nasikh-mansukh tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam empat kelompok atas dasar penggunaan etimologi maupun terminologi sebagai berikut:
a)      Menggunakan makna “menghapus suatu hukum syarak dengan dalil syarak”.
b)      Menggunakan makna at-Tabdil (pergantian/penukaran/pengalihan/pemindahan ayat hukum di tempat ayat hukum yang lain). Dalam arti bahwa semua ayat Al-Qur’an tetap berlaku, tidak ada kontradiksi, yang ada hanya pergantian hukum bagi masyarakat atau orang tertentu, karena kondisi yang berbeda. Dengan demikian, ayat hukum yang tidak berlaku bagi orang lain yang kondisinya sama dengan kondisi mereka semula.
c)      Bermakna penangguhan hukum, sebagaimana pendapat az-Zarkasyi yang menyatakan bahwa setiap perintah yang datang wajib kita ikuti saat kita memperoleh ‘illat, dan bila ‘illatnya hilang maka kita boleh berpindah kepada hukum yang lain.
d)     Menggunakan/mengidentifikasikan dengan takhsis.
Adapun kontroversi nasikh-mansukh dari segi pendapat para ulama adalah adanya pendukung teori nasikh-mansukh dalam konteks makna yang pertama (penghapusan/hukum tidak berlaku lagi).
Dasar teori nasikh-mansukh dalam konteks makna tersebut antara lain:
a)      Adanya kenyataan bahwa beberapa ayat ada yang menunjukkan gejala kontradiksi. Misalnya dalam penelitian an-Nahas (388 H), terdapat ayat yang berlawanan dengan ayat-ayat yang lain berjumlah seratus ayat, sehingga menurutnya realitas yang ditemukan tersebut mengindikasikan adanya ayat-ayat yang di-mansukh. Kemudian jauh sesudahnya, as-Sayutiy (911 H) hanya menemukan duapuluh ayat saja. Selanjutnya ash-Shawkany (1250 H) bahkan hanya menemukan delapan ayat saja yang tidak mampu dikompromikan.
b)      Penolak teori nasikh-mansukh yang memahaminya dalam konteks makna ke-empat yang dipelopori oleh Abu Muslim al-Asfahany. Mereka antara lain:
1)      Abu Muslim al-Asfahany (322 H)
2)      Fakhruddin al-Razy
3)      Syekh M. Abduh (1325 H)
4)      Dr. Taufiq Sidqi
5)      Ustadz Khudari
6)      Teungku M. Hasbi ash-Shiddieqy
Alasan mereka antara lain:
a)      Jika di dalam Al-Qur’an ada ayat-ayat yang mansukhah berarti membatalkan sebagian isinya. Membatalkan itu berarti menetapkan bahwa di dalam Al-Qur’an ada yang batal/salah.
b)      Al-Qur’an adalah syariat yang diabadikan hingga akhir zaman dan menjadi hujjah bagi manusia sepanjang zaman. Karena itu, tidaklah layak bila di dalamnya terdapat ayat-ayat yang mansukhah. As-Sunnah boleh, karena sebagiannya datang untuk sementara.
c)      Kebanyakan ayat-ayat yang tertuang di dalam Al-Qur’an bersifat kulliyyah bukan juz’iy-khas, dan hukum-hukumnya di dalam Al-Qur’an diterangkan secara ijmali bukan secara khas.
d)     Al-Qur’an tidak memastikan kepada adanya naskh ayat Al-Qur’an, karena mungkin ayat yang dimaksud adalah:
1)      Mukjizat
2)      Kitab-kitab suci terdahulu seperti Taurat, Injil, dan sebagainya. Yang dinasikh hukumnya oleh syariat Nabi Muhammad SAW.
3)      Makna nasikh dalam arti memindahkan/mengutip/menukil ayat-ayat dari lauh mahfudz kepada Nabi, yang kemudian ditulis ke dalam mushaf.
4)      Makna naskh jika berarti mengangkat hukum, dan ayat Al-Qur’an maka hal itu tidak berarti telah terjadi, namun hanya menunjukkan kemungkinan/kebolehan nasikh.
e)      Adanya ayat-ayat yang sepintas nampak kontradiksi, tidak memastikan adanya naskh. Karena ayat-ayat tersebut semakin mampu dibuktikan pengompromiannya dengan sedikit memberikan takwil atau penafsiran di dalamnya.
Imam Fakhrurazi berkata : “Nasakh bagi kita dapat terwujud secara akal dan riwayat, berbeda dengan Yahudi, sebab di angtara mereka ada yang mengingkarinya dan ada yang membolehkannya.”
Sementara mayoritas ulama Islam sepakat adanya Naskh. Mereka beralasan bahwasanya dalil-dalil yang menunjukkan atas kenabian Nabi Muhammad SAW, dan kenabian beliau tidak dapat dianggap benar kecuali dengan menaskah syariat-syariat Nabi sebelumnya. Sehingga dengan demikian nasakh tetap wajib adanya.   
                                                                                                                                                                                   
  1. Macam-Macam Nasakh dalam Al-Qur’an
Ada tiga macam/bentuk nasakh dalam Al-Qur’an (Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasni, 1999:206-211) antara lain:
a)      Ayat yang bacaan dan kandungan hukumnya dinasakh. Aisyah RA berkata, “Termasuk bagian yang diturunkan (ayat Al-Qur’an) adalah sepuluh radh’at (isapan susuan), kemudian dinasakh dengan lima isapan susuan. Setelah itu Rasulullah SAW  wafat. Ayat itu termasuk yang masih dibaca (diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim).” Sebagian yang mengatakan bahwa ungkapan “ayat itu termasuk yang masih dibaca” menunjukkan bahwa bacaannya masih ada di dalam Al-Qur’an. Padahal bukan itu maksudnya. Maksud yang sebenarnya adalah bahwa menjelang kewafatan Nabi, bacaan ayat itu pun sebenarnya sudah dinasakh, hanya saja informasinya baru sampai ke seluruh orang setelah Nabi wafat. Ketika wafat, masih ada sebagian orang yang membacanya.
b)      Ayat yang kandungan hukumnya saja yang dinasakh, sementara bacaannya tidak.  Bagian inilah yang banyak ditulis oleh beberapa pengarang kitab. Pada hakikatnya, jumlah ayat yang masuk ke dalam bagian ini hanya sedikit. Kebanyakan orang memasukkan beberapa ayat ke dalamnya. Para pakar, seperti al-Qadhi Abu Bakr bin al-Arabi memberi penjelasan yang meyakinkan tentang ini. Contoh ayat yang masuk dalam bagian ini adalah:
c)      Ayat yang bacaannya saja yang dinasakh, sementara kandungan hukumnya tidak. Sebagian orang bertanya apakah hikmah keberadaan bagian yang ketiga ini? Mengapa bacaannya  tidak ditetapkan saja agar orang-orang mengamalkan kandungan hukumnya serta memperoleh pahala dengan membacanya? Jawabannya adalah untuk menguji kadar ketaatan umat terhadap satu ketentuan hukum yang ditetapkan berdasarkan dugaan semata dan segera melaksanakannya tanpa meminta perincian lebih lanjut. Sebagaimana yang dilakukan oleh Ibrahim ketika bergegas hendak menyembelih anaknya, Ismail. Padahal perintah penyembelihan itu diperolehnya lewat mimpi. Mimpi, seperti dimaklumi, adalah jalan wahyu yang terendah.
Banyak sekali ayat yang tergolong dalam bagian yang ketiga ini. Abu Ubaidah bin Jarrah mengatakan bahwa Ismail bin Ibrahim dari Ayyub dari Nafi dari Ibnu Umar menyampaikan sebuah riwayat kepadanya. Ibnu Umar berkata, “Ada di antara kalian yang mengatakan bahwa saya sudah menghafal seluruh Al-Qur’an. Ia tidak tahu bahwa banyak (bacaannya) telah hilang (dinasakh). Ia seyogianya mengatakan saya sudah menghafal sebagian Al-Qur’an yang bacaannya masih ada (dalam mushaf).” Abu Ubaidah bin Jarrah pun mengatakan bahwa Ibnu Abi Maryam dari Ibnu Lahi’ah Ibnu al-Aswad dari Urwah bin Zubair dari Aisyah menceritakan sebuah riwayat kepadanya. Aisyah berkata, “Pada zaman Nabi, surat al-Ahzab terdiri dari 200 ayat. Ketika Utsman menulisnya dalam mushaf, jumlah ayatnya seperti yang sekarang.”
Para ulama yang mendukung teori nasikh-mansukh menyebutkan macam-macamnya (Moh. Ali Aziz, 2012:160), antara lain:
a)      Penghapusan ayat yang terkait dengan sumber hukum, yaitu penghapusan ayat Al-Qur’an oleh ayat yang lain, penghapusan hadis oleh ayat Al-Qur’an, penghapusan hadis oleh hadis, dan penghapusan ayat oleh hadis. Teori yang terakhir ini masih diperdebatkan oleh para ulama, karena status hadis yang lebih rendah dipermasalahakan jika menghapus ayat Al-Qur’an yang statusnya lebih tinggi.
b)      Penghapusan ayat Al-Qur’an dikaitkan dengan sasarannya, yakni bacaan ayat dan hukumnya. Karenanya, mereka memilah penghapusan ayat antara penghapusan hukum, bukan bacaanya; penghapusan bacaan, bukan hukumnya; dan penghapusan hukum sekaligus bacaanya.
c)      Penghapusan ayat yang dikaitkan dengan status ayat. Ada penghapus ayat yang seimbang hukumnya, ada yang lebih ringan, ada yang lebih berat, bahkan ada ayat yang dihapus tanpa ada penggantinya.
Berdasarkan kejelasan dan cakupannya, naskh dalam Al-Qur’an dibagi menjadi empat macam, yaitu:
a)      Naskh sharih, yaitu ayat yang secara jelas menghapus hukum yang terdapat pada ayat terdahulu.
b)      Naskh dhimmy, yaitu jika terdapat dua naskh yang saling bertentangan dan tidak dikompromikan, dan keduanya turun untuk sebuah masalah yang kemudian sama, serta keduanya diketahui waktu turunnya,  ayat yang datang kemudian menghapus ayat yang terdahulu.
c)      Naskh kully, yaitu menghapus hukum yang sebelumnya secara keseluruhan.
d)     Naskh juz’iy, yaitu menghapus hukum umum yang berlaku bagi semua individu dengan hukum yang hanya berlaku bagi sebagian individu, atau menghapus hukum yang bersifat mutlak dengan hukum yang muqayyad.
Adapun dari segi otoritas, mana yang lebih berhak menghapus sebuah nash, para ulama membagi naskh ke dalam empat macam, antara lain:
a)      Naskh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, para ulama sepakat dengan kebolehannya.
b)      Naskh Al-Qur’an dengan as-Sunnah. Bagi kalangan ulama Hanafiyah, naskh semacam ini diperkenankan bila sunnah yang menghapusnya sunnah mutawatir atau masyhur.
c)      Naskh as-Sunnah dengan as-Sunnah. Bagi al-Qaththan, pada dasarnya, ketentuan naskh dalam ijma’ dan qiyas itu tidak ada dan tidak diperkenankan. Dalam jenis nasakh ini, ada empat kemungkinan, yaitu:
1)      Nasakh sunnah yang mutawatirah dengan yang mutawatirah.
2)      Nasakh sunnah yang ahad.
3)      Nasakh sunnah yang ahad dengan yang mutawatirah.
4)      Nasakh yang mutawatirah dengan yang ahad.

  1. Cara Mengetahui Nasakh dan Mansukh
Cara untuk mengetahui nasakh dan mansukh dapat dilihat dengan cara-cara sebagai berikut (Abu Anwar, 2012:53-54) :
a)      Keterangan tegas dari Nabi atau sahabat.
b)      Kesepakatan umat tentang menentukan bahwa ayat ini nasakh dan ayat itu mansukh.
c)      Mengetahui mana yang lebih dahulu dan kemudian turunnya dalam perspektif sejarah.
Nasakh tidak dapat ditetapkan berdasarkan ijtihad, pendapat mufassir, atau keadaan dalil-dalil yang secara lahir tampak kontradiktif, atau terlambatnya keislaman seseorang dari dua perawi.
Ketiga persyaratan tersebut merupakan faktor yang sangat menentukan adanya nasakh dan mansukh dalam Al-Qur’an. Jadi, berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa nasakh-mansukh hanya terjadi dalam lapangan hukum dan tidak termasuk penghapusan yang bersifat asal (pokok).


  1. Contoh Nasikh-Mansukh
Sebagai contoh, pada permulaan kerasulan Muhammad SAW, kaum Muslimin diperintahkan untuk bersikap ramah kepada Ahlul Kitab (Allamah M.H. Thabathaba’i, 1997:60) , sebagaimana firman Allah:

Artinya: “Sebahagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah: 109).
Kemudian ketentuan ini dicabut, dan kaum Muslimin diperintahkan untuk memerangi mereka, sebagaimana firman-Nya SWT:
Artinya: “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, yang tidak mengharamkan apa yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya, dan yang tidak beragama dengan agama yang benar, yaitu di antara orang yang al-Kitab diberikan kepada mereka.” (QS. At-Taubah : 29).
            Alasan nasakh yang kita terima adalah suatu hukum dikeluarkan untuk suatu kemaslahatan dan untuk dilaksanakan, sampai manusia menyadari kesalahannya, dan kemudian satu hukum lain diberikan, menggantikan hukum sebelumnya. Nasakh seperti ini bukanlah jenis nasakh yang dengannya kekeliruan bisa dinisbatkan kepada Allah Yang Mahasuci dari kebodohan dan kesalahan. Nasakh yang demikian ini juga tidak terdapat dalam ayat-ayat Al-Qur’an, sebab ayat-ayat tersebut tidak mengandung pertentangan antara satu dengan lainnya. Tetapi arti nasakh dalam Al-Qur’an ialah berakhirnya waktu berlakunya hukum yang dinasakh. Artinya bahwa hukum yang pertama memiliki suatu kemaslahatan dan pengaruh tersebut. Mengingat Al-Qur’an diturunkan secara bertahap dalam berbagai situasi selama dua puluh tiga tahun, maka jelaslah bahwa Al-Qur’an mengandung hukum-hukum seperti itu.
  
KESIMPULAN
Nasakh adalah penghapusan hukum syarak dengan khitab syarak pula, atau penghapusan hukum syarak  dengan dalil syarak yang lain. Ada empat rukun nasakh, yaitu adat nasakh, nasikh, mansukh, dan mansukh ‘anh. Syarat terjadinya naskh juga ada empat. Pertama, yang dibatalkan adalah hukum syarak. Kedua, pembatalan itu datangnya dari tuntutan syarak. Ketiga, pembatalan hukum tidak disebabkan oleh berakhirnya waktu pemberlakuan hukum. Ke-empat, tuntutan yang mengandung naskh harus datang kemudian.
Nasakh dapat diketahui berdasarkan penjelasan langsung dari Rasulullah SAW maupun keterangan yang menyatakan bahwa salah satu nash diturunkan terlebih dahulu, serta berdasarkan keterangan dari periwayat hadis yang menyatakan satu hadis dikeluarkan tahun sekian dan hadis lain dikeluarkan tahun sekian. Dasar-dasar penetapan nasakh antara lain melalui kesepakatan umat bahwa ayat ini nasikh atau mansukh serta bisa melalui studi sejarah.
Bentuk-bentuk nasakh ada empat, yaitu naskh sharih, naskh dhimmy, naskh kully, dan naskh juz’iy. Beberapa hikmah adanya nasakh, yaitu dapat menjaga kemaslahatan hamba, mampu mengembangkan pensyariatan hukum sampai pada tingkat kesempurnaan, menguji kualitas keimanan mukallaf, dan merupakan kebaikan serta kemudahan bagi umat.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Hasni, Muhammad bin Alawi Al-Maliki. 1999. Mutiara Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Bandung:          Pustaka Setia
Al-Qattan, Manna’ Khalil. 2011. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. Jakarta: Mitra Kerjaya Indonesia.
Anwar, Abu. 2012. Ulumul Quran, Sebuah Pengantar. Jakarta: Amzah.
Anwar, Rosihon. 2013. Ulum Al-Quran. Bandung: Pustaka Setia.
Aziz, Moh. Ali. 2012. Mengenal Tuntas Al-Qur’an. Surabaya: Imtiyaz.
Djalal, Abdul. 2013. Ulumul Qur’an. Surabaya: Dunia Ilmu.
Syadali, Ahmad, dan Ahmad Rof’i. 2000. Ulumul Quran I. Bandung: Pustaka Setia.
Thabathaba’i, Allamah. 1997. Mengungkap Rahasia Al-Quran. Bandung: Mizan.
Tim Penyusun MKD UIN Sunan Ampel Surabaya. 2013. Studi Al-Qur’an. Surabaya: UIN            Sunan Ampel Press.
Yusuf, M. Kadar. 2012. Studi Alquran. Jakarta: Amzah.