Rabu, 01 Maret 2017

TEORI PENGKONDISIAN KLASIK



A. Definisi dan Contoh Teori Pengkondisian Klasik
Teori conditioning ataucontiguity menekankan bahwa belajar terdiri atas pembangkitan respons dengan stimulus yang pada mulanya bersifat netral atau tidak memadai. Melalui persinggungan (contiguity) stimulus dengan respons, stimulus yang tidak memadai untuk menimbulkan respons tadi akhirnya mampu menimbulkan respons (Hamalik, 1992).
Menurut Muhid, Fauziyah, Balgies, dan Mukhoyyaroh (2013)disebut pengkondisian klasik jika suatu organisme belajar mengasosiasikan hubungan antara dua rangsangan, suatu peristiwa terjadi setelah peristiwa lain. Organisme belajar bahwa dua stimulus cenderung berjalan bersama-sama.
Menurut Davidoff (1981) pengkondisian klasik atau pengkondisian responden ialah sebuah respons yang dapat dialihkan dari satu situasi ke situasi lain dengan melalui suatu prosedur. Melonjak karena terkejut, merupakan suatu respons yang umum terjadi bila kita mendadak mendengar suara guntur. Respons ini seringkali dengan cepat dialihkan atau dikaitkan dengan pemandangan yang terjadi sebelum guntur, yaitu kilatan cahaya.
Agar pengkondisian klasik menjadi efektif, stimulus yang akan terkondisi sebaiknya mendahului stimulus yang tidak terkondisi dan bukan ditampilkan setelahnya atau pada saat yang bersamaan. Hal ini masuk akal karena dalam pengkondisian klasik, stimulus yang terkondisi menjadi sebuah sinyal pertanda munculnya stimulus yang tak terkondisi. Pengkondisian klasik malah merupakan adaptasi yang evolusioner, sehingga memungkinkan organisme untuk mengantisipasi dan mempersiapkan diri terhadap kejadian biologis penting yang akan terjadi (Wade dan Tavris, 2007).
Contoh lain adalah ketika seorang ayah membawa bayinya keluar rumah untuk berjalan-jalan. Bayi itu mencoba menyentuh sebuah bunga berwarna merah jambu, dan disengat oleh seekor lebah yang sedang hinggap di kelopak bunga tersebut. Keesokan harinya, ibu bayi tersebut membawa bunga merah jambu. Kemudian ia mengambil sekuntum bunga dan memberikannya kepada bayinya untuk dicium. Sang bayi menangis dengan kencang setelah melihat bunga berwarna merah jambu itu. Kepanikan sang bayi ketika melihat bungamerah berwarna merah jambu menggambarkan sebuah sebuah proses pembelajaran yang disebut pengkondisian klasik ( classial conditioning ). Dalam proses belajar ini, rangsangan netral (bunga) diasosiasikan dengan rangsangan lain yang bermakna (rasa sakit sengatan lebah ). Kehadiran bunga saja memiliki kemampuan untuk menghasilkan respons yang sama seperti ketika betul-betul ada sengatan lebah (King, 2010).
Pengkondisian klasik telah digunakan pula untuk menyelidiki proses belajar yang terjadi pada bayi berumur 5-7 hari. Bila hembusan udara ditiupkan pada mata, respon yang lazim adalah mengedipkan mata. Bila suatu nada dibunyikan segera sebelum hembusan udara, bayi tersebut akan belajar mengasosiasikan nada dengan hembusan udara dan mengedipkan matanya pada waktu mendengarkan nada saja. Prosedur ini bermanfaat untuk meyelidiki proses belajar pada bayi yang sangat muda usia(Atkinson, Atkinson, dan Hilgard, 1983).

B. Eksperimen Ivan Pavlov tentang Teori Pengkondisian Klasik
Pada awal tahun 1900-an, seorang ahli fisiologi bernama Ivan Pavlov dari Rusia, tertarik untuk meneliti bagaimana tubuh mencerna makanan. Dalam eksperimen penelitianya. Ia secara rutin meletakkan bubuk daging dan mulut seekor anjing, yang menyebabakan anjing tersebut mengeluarkan air liur. Anjing ini ternyata mengeluarkan air liur sebagai respons dari beberapa rangsangan yang berkaitan dengan makanan. Pavlov  menyadari bahwa asosiasi antara penglihatan dan pendengaran dengan makanan merupakan jenis belajar yang sangat penting, yang kemudian dikenal dengan nama pengkondisian klasik. Komponen yang tidak dipelajari dari pengkondisian klasik didasarkan pada bahwa perilaku anjing meliputi komponen yang di pelajari dan tidak dipelajari. Komponen yang tidak dipelajari dari pengkondisian klasik didasarkan pada bahwa beberapa rangsangan secara otomatis menghasilkan respons tertentu, terlepas dari pembelajaran sebelumnya, dengan kata lain, respons-respons ini merupakan respons yang alami atau bawaan sejak lahir. Gerakan refleks merupakan gerakan yang mewakili hubungan otomatis antara rangsangan dan respons (King, 2010).
Pada eksperimennya, Pavlov memasang sebuah selang pada kelenjar liur seekor anjing untuk mengukut jumlah produksi air liur anjing tersebut. Ia kemudian membunyikan sebuah bel dan setelah beberapa saat kemudian, Pavlov memberikan makanan kepada anjing tersebut beberapa kali dan direncanakan dengan sangat hati-hati. Pada awalnya, anjing tersebut akan mengeluarkan air liur ketika makanan telah dimunculkan. Tidak lama kemudian, anjing tersebut mengeluarkan air liur ketika mendengar suara bel. Bahkan, ketika Pavlov menghentikan pemberian makanan, anjing tersebut masih mengeluarkan air liur setelah mendengar suaara bel. Anjing tersebut telah mengalami pengkondisian klasik dalam mengeluarkan air liur setelah mendengar bel (Atkinson, dkk, 1983).
C. Proses Terjadinya Pengkondisian Klasik
Menurut Davidoff (1981) ada empat elemen yang terlibat dalam teori pengkondisian klasik, yaitu:
1.      Elemen pertama dinamakan stimulus tak bersyarat atau UCS (Unconditioned Stimulus), adalah suatu rangsangan pencetus yang menghasilkan respons secara otomatis. Contoh yang paling mudah adalah ketika apabila di dalam mulut terdapat makanan maka akan merangsang keluarnya air liur, baik pada hewan maupun manusia.
2.      Suatu rangsangan terkondisikan atau CS(Conditioned Response), adalah suatu kejadian, obyek, atau pengalaman yang tidak memancing munculnya respons tak bersyarat pada permulaannya. Rangsangan netral ini harus dipasangkan dengan rangsangan tak bersyarat. Umpamakan saja bahwa sebuah bel akan berbunyi di siang hari beberapa detik sebelum anjing memakan makanannya. Suara bel itu merupakan satu rangsangan netral karena pada permulaannya tidak memancing keluarnya air liur.
3.      Respons tak bersyarat atau UCR (Unconditioned Response), merupakan suatu respons yang secara otomatis akan muncul akibat adanya rangsangan tak bersyarat (US) dalam contoh di atas adalah keluarnya air liur.
4.      Setelah rangsangan netral itu dipasangkan dengan rangsangan tak bersyarat, maka rangsangan netral tadi akan dapat memancing pula respons yang sama dengan respons tak bersyarat, yang dinamakan respons bersyarat atau CR (Conditioned Response). Respons bersyarat ini biasanya tidak selengkap respons tak bersyarat dan lebih ringan. Sebagai contoh, bila suara bel selalu terdengar sebelum adanya makanan, maka bunyi dering itu sendiri sudah akan dapat menimbulkan keluarnya air liur.
D. Prinsip-prinsip Teori Pengkondisian Klasik
Beberapa prinsip yang digunakan dalam teori pengkondisian, baik klasik maupun operan, antara lain (King, 2010) :
1.   Akuisisi
Dalam pengkondisian klasik ini merupakan pembelajaran awal dari hubungan antara rangsangan-respons. Pembelajaran ini meliputi sebuah rangsangan netral yang diasosiasikan dengan UCS, dan kemudian menjadi rangsangan yang dikondisikan (CS) yang menghasilkan CR. Dua hal penting dalam proses akuisi adalah waktu dan kemungkinan / prediktabilitas.
Selang waktu antara CS dan UCS merupakan salah satu hal penting dalam pengkondisian klasik. Selang waktu tersebut menggambarkan kesinambungan  atau keterhubungan ransangan dalam ruang dan waktu. Respons yang dikondisikan terbentuk ketika CS dan UCS saling berlanjut, muncul secara dekat atau hampir bersamaan. Sering kali, jarak waktu yang optimal antara CS-UCS hanyalah sepersekian detik. Dalam eksperimen Pavlov, jika bel berbunyi 20 menit setelah makanan diperlihatkan, maka anjing tersebut mungkin tidak akan mengasosiasikan bek dengan makanan. 
Rescorla(1928 dalam King, 2010)menyakini bahwa agar sebuah pengondisian klasik terjadi, tidak hanya dibutuhkan selang waktu singkat antara CS-UCS, namun juga dibutuhkan suatu kemungkinan. Kemungkinan (contingency) dalam pengondisian klasik memiliki arti kemunculan satu rangsangan di ikuti dengan rangsangan yang lain dapat diramalkan. Pada contoh sebelumnya, cahaya kilat, biasanya di ikuti dengan bunyi gemuruh halilintar. Hal ini membuat kita menutup telinga kita saat melihat cahaya kilat, sebagai antisipasi datangnya bunyi gemuruh halilintar.
2. Generalisasi dan Diskriminasi
Pavlov menemukan bahwa anjing mengeluarkan air liur tidak hanya disebabkan oleh bunyi bel, tetapi juga dapat disebabkan oleh bunyi lain, seperti bunyi siulan.Generalisasi (generalization)dalam pengondisian klasik merupakan kecenderungan sebuah rangsangan baru yang mirip dengan rangsangan yang kondisikan asli, menghasilakn respons yang sama dengan respons yang dikondisikan.
Generalisasi rangsangan tidak slalu bersifat menguntungkan. Contohnya, seekor kucing yang menggeneralisasikan bahwa ikan kecil tidak berbahaya, akan menemui masalah ketika bertemu dengan ikan piranha.
Diskriminasi (diskriminasi) dalam pengondisian klasik merupakan sebuah proses belajar untuk merespons beberapa rangsangan  tertentu dan tidak merespons yang lain (King, 2010).
3. Pelenyapan dan Pemulihan Secara Spontan
Setelah mengkondisikan seekor anjing untuk mengeluarkan air liur ketika mendengar bunyi bel, Pavlov membunyikan bel berulang-ulang dalam suatu sesi dan tidak memberikan makanan sama sekali. Hasilnya adalah Pelenyapan, saat dalam pengondisian klasik yang berarti melemahnya respons yang dikondisikan disebabkan oleh hilangnya rangsangan yang tidak dikondisikan.
Pelenyapan tidak selalu berarti berakhirnya respons yang dikondisikan. Keesokan harinya, setelah Pavlov menghilangkan air liur sebagai respons yang dikondisikan dari bunyi bel, Pavlov membawa anjing tersebut ke laboratorium dan membunyikan bel, namun tetap tanpa memberikan bubuk daging. Anjing tersebut mengeluarkan air liur, menandakan bahwa respons yang sebelumnya telah punah dapat secara spontan muncul kembali. Pemulihan spontan (spontaneous recovery) adalah proses pengondisian klasik saat respons yang dikondisikan kembali dapat muncul setelah ada jeda waktu beberapa saat tanpa dilakukannya pengondisian lebih lanjut (King, 2010).
Untuk memperkuat pemahaman anda mengenai akuisisi, generalisasi, diskriminsasi, dan pelenyapan dalam pengondisian klasik, berikut ini adalah contoh bagaimana konsep-konsep diatas terefleksikan dari pengalaman seorang anak yang pergi ke dokter gigi (Atkinson, dkk, 1983): 
1.      Akuisisi: Seorang anak  belajar untuk takut (CR) pergi ke ruang dokter gigi, dengan mwngasosikan kunjungan tersebut dengan respons emosional yang tidak dipelajari (UCR) terhadap rasa sakit ketika mengalami pembersihan karang gigi (UCS).
2.      Generalisasi: Anak tersebut takut terhadap semua ruangan dokter gigi dan tempat-tempat yang mirip, termasuk ruang dokter umum dan orang dewasa didalamnya yang memakai pakaian medis berwarna putih, yang memiliki bau-bau dan bunyi-bunyian tertentu.
3.      Diskriminasi: Anak tersebut pergi ke ruang dokter yang merupakan dokter Ibunya, dan belajar bahwa tidak ada asosiasi rung tersebut dengan rasa sakit dari UCS.
4.      Pelenyapan: Anak tersebut dari waktu ke waktu pergi ke dokter gigi beberapa kali dan tidak memiliki pengalaman menyakitkan, sehingga rasa takut anak tersebut terhadap ruangan dokter gigi hilang, setidaknya untuk sementara, sampi anak tersebut mengalami pengalaman menyakitkan lagi ketika karang gigimya diberi perawatan.
E. Kesimpulan
Teori conditioning ataucontiguity menekankan bahwa belajar terdiri atas pembangkitan respons dengan stimulus yang pada mulanya bersifat netral atau tidak memadai. Melalui persinggungan (contiguity) stimulus dengan respons, stimulus yang tidak memadai untuk menimbulkan respons tadi akhirnya mampu menimbulkan respons.
Dalam proses pembelajaran menurut teori pengondisian, terdapat teori pengkondisian klasik. Teori ini menekankan bahwa suatu organisme belajar mengasosiasikan hubungan antara dua rangsangan, suatu peristiwa terjadi setelah peristiwa lain. Sementara prinsip-prinsip teori pengkondisian antar lain: akuisisi, generalisasi, diskriminisasi, dan pelenyapan dalam pengondisian klasik.



DAFTAR PUSTAKA

Atkinson, R.L., Atkinson, R.C., dan Hilgard E.C. (1983). Pengantar Psikologi. Jakarta: Erlangga
Davidoff, L.L.(1981). Psikologi: Suatu Pengantar. Jakarta: Erlangga
Hamalik, O.(1992). Psikologi Belajar dan Mengajar. Bandung: Sinar Baru
Muhid, A., Fauziyah, N., Balgies, S., dan Mukhoyyaroh, T.(2013). Psikologi Umum. Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press
Wade, C., dan Tavris, C. (2007).Psikologi: Edisi Ke-9. Jakarta: Erlangga

2 komentar: