BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Penghimpunan Al-Qur’an bisa dikategorikan menjadi dua hal: Pertama,
penghafalan Al-Qur’an, dan kedua, penulisannya huruf demi huruf, ayat demi
ayat, dan surat demi surat, baik dalam lembaran-lembaran yang sudah dibukukan dalam
satu mushaf.
Penghimpunan Al-Qur’an dalam sejarahnya berlangsung selama tiga periode.[1]
(1) Pada masa Rasulullah SAW, (2) pada masa khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq RA,
dan (3) pada masa khalifah Utsman bin Affan RA. Masing-masing periode memiliki
ciri-ciri sendiri. Periode pertama ditandai dengan penghafalan dan penulisan
Al-Qur’an di atas media-media sederhana (seperti tulang dan kulit binatang,
pelepah kurma, dan lain-lain. Periode kedua ditandai dengan pembukuan Al-Qur’an
dalam sebuah mushaf oleh panitia tunggal Zaid bin Tsabit. Periode ketiga
ditandai dengan pembukuan Al-Qur’an dalam beberapa mushaf dengan sistem
penulisan yang akomodatif terhadap qiraat sab’at, yang kemudian dikirim
ke beberapa wilayah untuk menjadi mushaf standar bagi umat islam.
2. Rumusan Masalah
a. Bagaimana sejarah penghimpunan Al-Qur’an pada masa Rasulullah SAW?
b. Bagaimana sejarah penghimpunan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar Ash-Shiddiq
RA?
c. Bagaimana sejarah penghimpunan Al-Qur’an pada masa Utsman bin Affan RA?
3. Tujuan Penulisan
a. Mengetahui sejarah penghimpunan Al-Qur’an pada masa Rasulullah SAW.
b. Mengetahui sejarah penghimpunan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar
Ash-Shiddiq RA.
c. Mengetahui sejarah penghimpunan Al-Qur’an pada masa Utsman bin Affan RA.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Sejarah Penghimpunan Al-Qur’an pada Masa Nabi SAW
Rasulullah adalah penghafal Qur’an pertama dan merupakan contoh paling
baik bagi para sahabat dalam menghafalnya, sebagai realisasi kecintaan mereka
kepada pokok agama dan sumber hukum. Qur’an diturunkan selama dua puluh tahun
lebih. Proses penurunannya terkadang hanya turun satu ayat dan terkadang turun
sampai sepuluh ayat. Setiap kali sebuah ayat turun, dihafal dalam dada dan
ditempatkan dalam hati, sebab bangsa Arab secara kodrati memang mempunyai daya
hafal yang kuat.[2] Hal itu
dikarenakan umumnya mereka buta huruf, sehingga dalam penulisan berita-berita,
syair-syair, dan silsilah mereka dilakukan dengan mencatat di hati mereka.
Para sahabat berlomba-lomba menghafal ayat-ayat yang diturunkan. Mereka
saling membantu dan berbagi hafalan. Sehingga jumlah mereka yang hafal Qur’an
tidak terhitung jumlahnya. Di antaranya Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Thalhah,
Sa’ad, Ibnu Mas’ud, Huzaifah, Salim Maula Abi Huzaifah, Abu Hurairah, Ibnu
Umar, Ibnu Abbas, Amru bin Ash, Abdullah bin Amru, Muawiyah, Ibnu Zubair,
Abdullah bin Saib, Aisyah, Hafshah, Ummu Salamah (semuanya dari kaum
Muhajirin), Ubay bin Ka’ab, Muadz bin Jabal, Zaid bin Tsabit, Abu Darda’, Anas
bin Malik, Abu Zaid, dan lain-lain dari golongan penghafal.
Banyaknya para sahabat yang hafal Qur’an tidaklah mengherankan karena
pertama, secara tradisi mereka sudah terbiasa dan terlatih menghafal, terutama
menghafal syair-syair dan garis keturunan. Kedua, mereka sangat mencintai
Qur’an. Ketiga, fasilitas tulis-menulis masih sangat terbatas.[3]
Media yang dipakai kala itu memang sederhana sekali, bahkan seadanya,
mengingat fasilitas yang sanagat terbatas. Misalnya pelepah kurma, batu tipis,
kulit binatang, daun kering, dan lain-lain. Penulisan kala itu mencakup Al-Ahruf
As-Sa’bah sebagaimana Qur’an diturunkan, mencakup yang dinasakh tilawahnya
(mansukh at-tilawah), sebagian hanya berdasarkan urutan surat dan ayat
dan tidak terkumpul dalam mushaf atau suhuf.
Sekali pun ayat-ayat yang turun dituliskan oleh para penulis wahyu,
tetapi yang menjadi acuan utama dalam transfer Qur’an dari Rasul kepada sesama
umat Islam bukanlah tulisan tersebut, melainkan hafalan atau periwayatan secara
lisan. Faktor-faktor
yang mendorong penulisan Qur’an pada masa Nabi antara lain:
a. Memperbanyak hafalan, baik Nabi maupun
sahabat
b. Mempresentasikan
wahyu dengan cara yang paling sempurna,
karena mengandalkan hafalan saja tidak cukup, karena di antara
mereka ada yang lupa atau telah wafat. Sedangkan tulisan akan tetap terpelihara.
Sementara itu, penulisan Qur’an pada masa Nabi tidak terkumpul dalam satu tempat saja, tetapi terpisah. Hal ini dikarenakan proses turunnya Qur’an saat itu masih berlangsung, sehingga terdapat kemungkinan ayat yang turun
di belakang menghapus (menasakh) redaksi atau hukum ayat yang turun sebelumnya. Juga karena adanya penertiban ayat-ayat dan
surat-surat, karena sistematika penulisan Qur’an tidak disusun menurut kronologi turunnya, tapi menurut keserasian antara ayat yang satu dan ayat lain. Oleh karena
itu terkadang surat yang turunnya lebih akhir berada di depan dan sebaliknya
ayat yang turun awal berada di depan.
2. Sejarah Penghimpunan Al-Qur’an pada Masa Abu Bakar Ash-Shiddiq RA
Penghimpunan Qur’an pada masa Abu Bakar berawal dari inisiatif Umar bin
Khatthab. Umar khawatir akan banyaknya para penghafal yang gugur dalam beberapa
peristiwa, seperti peristiwa Yamamah dan Sumur Ma’unah. Keadaan tersebut kalau
tidak segera diantisipasi dapat berakibat fatal bagi kelangsungan Islam untuk
masa yang akan datang. Oleh sebab itu, Umar mengusulkan kepada Abu Bakar untuk
mengumpulkan Qur’an dalam satu mushaf. Semula Abu Bakar keberatan karena
dikhawatirkan termasuk perbuatan bid’ah, sebab Rasul tidak pernah memerintahkan
perbuatan tersebut. Tetapi, Umar berhasil meyakinkan Abu Bakar bahwa perbuatan
tersebut hanyalah meneruskan apa yang telah dirintis oleh Rasul sendiri, karena
beliau telah memerintahkan kepada para penulis wahyu agar menulis semua ayat
yang turun.
Abu Bakar menganggap bahwa seseorang yang paling tepat melakukan tugas
tersebut adalah Zaid bin Tsabit, karena Zaid termasuk barisan penghafal Qur’an
dan sekaligus salah seorang penulis wahyu yang ditunjuk oleh Rasul SAW, apalagi
dia menyaksikan tahap-tahap akhir Qur’an diturunkan kepada Rasul SAW. Zaid juga
terkenal cerdas, sangat wara’, amanah, dan istiqamah. Umar pun
menyetujui keputusan Abu Bakar tersebut.
Seperti halnya Abu Bakar, Zaid pun semula ragu menerima tugas tersebut.
Tetapi setelah diyakinkan oleh Abu Bakar, akhirnya dia bersedia melaksanakannya
di bawah bimbingan Abu Bakar, Umar, dan para sahabat senior lainnya. Dalam
melaksanakan tugasnya, Zaid mengikuti metode yang digariskan oleh Abu Bakar dan
Umar, yaitu mengumpulkan Qur’an dengan tingkat akurasi tinggi dan hati-hati.
Sumber yang digunakan pun tidak cukup hafalan dan catatan yang dibuat oleh Zaid
sendiri, tetapi menggunakan catatan-catatan yang pernah dibuat pada zaman Rasul
dan hafalan para sahabat. Setiap sumber harus dikuatkan oleh dua orang saksi
yang dipercaya.[4] Kemudian
tersusunlah sebuah mushaf yang dikumpulkan dengan tingkat akurasi tinggi dari
sumber yang mutawatir dan diterima secara ijma’ oleh umat Islam saat
itu. Ayat-ayat yang sudah dinasakh tidak lagi dituliskan. Ayat-ayat sudah
disusun sesuai dengan urutannya berdasarkan petunjuk Rasulullah SAW, tetapi
surat demi surat belum tersusun sebagaimana mestinya.
3.
Sejarah Penghimpunan Al-Qur’an pada Masa
Utsman bin Affan RA
Pengumpulan Qur’an pada masa Utsman dilatarbelakangi oleh meluasnya
perbedaan pendapat di antara kaum Muslim tentang penulisan dan bacaan Qur’an
yang benar, terutama setelah wilayah Khilafah Islamiyah semakin meluas
ke bagian utara dan Afrika Utara. Umat Islam kala itu memiliki perbedaan dialek
dalam membaca Qur’an sesuai dengan asal daerahnya. Misalnya umat Islam di Syam
mengikuti bacaan Ubay bin Ka’ab, di Kufah mengikuti bacaan Abu Musa Al-Asy’ari,
dan sebagainya. Perbedaan seperti itu menjadi masalah bagi sebagian umat Islam,
terutama yang tidak mengerti dan tidak tahu
bahwa Qur’an diturunkan dalam beberapa versi qira’at. Kekhawatiran
Utsman dapat terbaca jelas dalam pidatonya waktu itu: “Anda semua yang dekat
denganku berbeda pendapat, apalagi orang-orang yang bertempat tinggal jauh
dariku, mereka pasti lebih berbeda lagi”. Hadits riwayat Abu Daud.
Utsman segera berinisiatif untuk membentuk tim penulisan kembali Qur’an
ke dalam beberapa mushaf dengan acuan utama Mushaf Abu Bakar. Tim tersebut terdiri
dari Zaid bin Tsabit sebagai ketua, dengan anggota Abdullah bin Zubair, Sa’id
bin Ash, dan Abdurrahman bin Harits bin Hisyam. Ketiga anggota berasal dari
suku Quraisy, berbeda dengan Zaid yang berasal dari Madinah. Utsman mengatur
komposisi tersebut karena apabila terjadi perbedaan pendapat dengan Zaid, maka
masih ada tiga orang Quraisy yang memenangkan perbedaan tersebut. Hal ini
dilakukan karena Qur’an diturunkan dalam logat Quraisy.
Jika mushaf yang ditulis pada masa Abu Bakar sudah disusun ayat demi
ayat sesuai dengan urutannya yang tauqifi, tetapi surat demi suart belum
disusun sesuai dengan urutannya maka tim
tersebut menyempurnakan dengan menyusun surat demi surat sesuai dengan
urutannya.
Setelah pekerjaan tim selesai, Utsman mengirim mushaf-mushaf tersebut ke
beberapa wilayah untuk dijadikan sebagai standar. Utsman memerintahkan agar
semua mushaf milik pribadi yang berbeda dengan mushaf miliknya harus dibakar,
jika gagal dalam menghapuskan mushaf-mushaf ini maka dapat memicu munculnya
perselisihan kembali.[5]
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Penghimpunan Al-Qur’an dalam sejarahnya berlangsung selama tiga periode.
Pertama, pada masa Rasulullah SAW, kedua pada masa khalifah Abu Bakar
Ash-Shiddiq RA, dan ketiga pada masa khalifah Utsman bin Affan RA.
Masing-masing periode memiliki ciri-ciri sendiri.
Dengan memahami keperluan dokumentasi tiap
ayat, masyarakat Muslim yang telah mencapai urutan huffaz telah membuat
sistem hafalan sebagai penangkal pengaruh yang merusak. Pada periode Mekkah
dengan laju penindasan yang begitu kuat,
tidak mampu memusnahkan Qur’an yang pada akhirnya umat Islam menikmati kemajuan
Madinah, baik yang bisa membaca maupun yang buta huruf dapat mengambil bagian
dalam menghafal Qur’an. Di tengah mereka tinggal Rasul terakhir yang
mendiktekan, menjelaskan, menyusun ayat melalui inspirasi ketuhanan dengan
status privilege (hak istimewa), semua ayat di dalamnya menjadi
sempurna.
Pengabdian Abu Bakar terhadap Qur’an pun
sangat mengagumkan, beliau sangat memperhatikan instruksinya tentang dua saksi
untuk membangun otentisitas dan mempraktikkan ini dalam kompilasi Qur’an itu
sendiri. Alhasil, walaupun ditulis di atas kertas yang tidak sempurna, hal ini
menunjukkan bahwa keikhlasan dalam usahanya untuk memelihara Qur’an.
Usaha Utsman yang sungguh-sungguh jelas
tampak berhasil dan dilihat dari dua cara: pertama, tidak ada mushaf di
provinsi Muslim kecuali Mushaf Utsmani yang telah menyerap ke darah daging
mereka; kedua, mushaf atau kerangka teksnya dalam jangka waktu empat belas abad
tidak bisa dirusak. Sampai hari ini terdapat banyak mushaf yang dinisbatkan
langsung kepada Utsman, artinya bahwa mushaf-mushaf tersebut asli atau salinan
resmi dari yang asli.
DAFTAR PUSTAKA
Al-A’zami, Muhammad Mustafa. 2005. The
History: The Qur’anic Text from Revelation to Compilation. Jakarta: Gema
Insani Press
Al-Qattan, Manna’ Khalil. 2013. Studi
Ilmu-ilmu Qur’an. Bogor: Pustaka Litera Antarnusa
Ilyas, Yunahar. 2013. Kuliah
Ulumul Qur’an. Yogyakarta: Itqan Publishing.
[1]Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul
Qur’an, (Yogyakarta: Itqan Publishing), hlm 81.
[2]
Manna’ Khalil al-Qattan, Studi
Ilmu-Ilmu Qur’an, (Bogor: Pustaka Litera Antarnusa), hlm 179-180.
[3]
Yunahar Ilyas, Kuliah
Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Itqan Publishing), hlm 84.
[4]
Yunahar Ilyas, Kuliah
Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Itqan Publishing), hlm 87.
[5]
Muhammad Mustafa Al-A’zami, The
History: The Qur’anic Text from Revelation to Compilation, (Jakarta: Gema
Insani Press), hlm 108.