Teori conditioning ataucontiguity
menekankan bahwa belajar terdiri atas pembangkitan respons dengan stimulus
yang pada mulanya bersifat netral atau tidak memadai. Melalui persinggungan (contiguity)
stimulus dengan respons, stimulus yang tidak memadai untuk menimbulkan respons
tadi akhirnya mampu menimbulkan respons (Hamalik, 1992).
Menurut Muhid, Fauziyah, Balgies,
dan Mukhoyyaroh (2013)disebut pengkondisian klasik jika suatu organisme belajar
mengasosiasikan hubungan antara dua rangsangan, suatu peristiwa terjadi setelah
peristiwa lain. Organisme belajar bahwa dua stimulus cenderung berjalan
bersama-sama.
Menurut Davidoff (1981)
pengkondisian klasik atau pengkondisian responden ialah sebuah respons yang
dapat dialihkan dari satu situasi ke situasi lain dengan melalui suatu
prosedur. Melonjak karena terkejut, merupakan suatu respons yang umum terjadi
bila kita mendadak mendengar suara guntur. Respons ini seringkali dengan cepat
dialihkan atau dikaitkan dengan pemandangan yang terjadi sebelum guntur, yaitu
kilatan cahaya.
Agar pengkondisian klasik menjadi
efektif, stimulus yang akan terkondisi sebaiknya mendahului stimulus yang tidak
terkondisi dan bukan ditampilkan setelahnya atau pada saat yang bersamaan. Hal
ini masuk akal karena dalam pengkondisian klasik, stimulus yang terkondisi
menjadi sebuah sinyal pertanda munculnya stimulus yang tak terkondisi.
Pengkondisian klasik malah merupakan adaptasi yang evolusioner, sehingga
memungkinkan organisme untuk mengantisipasi dan mempersiapkan diri terhadap
kejadian biologis penting yang akan terjadi (Wade dan Tavris, 2007).
Contoh lain adalah ketika seorang
ayah membawa bayinya keluar rumah untuk berjalan-jalan. Bayi itu mencoba menyentuh
sebuah bunga berwarna merah jambu, dan disengat oleh seekor lebah yang sedang
hinggap di kelopak bunga tersebut. Keesokan harinya, ibu bayi tersebut membawa
bunga merah jambu. Kemudian ia mengambil sekuntum bunga dan memberikannya
kepada bayinya untuk dicium. Sang bayi menangis dengan kencang setelah melihat
bunga berwarna merah jambu itu. Kepanikan sang bayi ketika melihat bungamerah
berwarna merah jambu menggambarkan sebuah sebuah proses pembelajaran yang
disebut pengkondisian klasik ( classial conditioning ). Dalam proses
belajar ini, rangsangan netral (bunga) diasosiasikan dengan rangsangan lain
yang bermakna (rasa sakit sengatan lebah ). Kehadiran bunga saja memiliki
kemampuan untuk menghasilkan respons yang sama seperti ketika betul-betul ada sengatan
lebah (King, 2010).
Pengkondisian klasik telah digunakan
pula untuk menyelidiki proses belajar yang terjadi pada bayi berumur 5-7 hari.
Bila hembusan udara ditiupkan pada mata, respon yang lazim adalah mengedipkan
mata. Bila suatu nada dibunyikan segera sebelum hembusan udara, bayi tersebut
akan belajar mengasosiasikan nada dengan hembusan udara dan mengedipkan matanya
pada waktu mendengarkan nada saja. Prosedur ini bermanfaat untuk meyelidiki
proses belajar pada bayi yang sangat muda usia(Atkinson, Atkinson, dan Hilgard,
1983).
B. Eksperimen
Ivan Pavlov tentang Teori Pengkondisian Klasik
Pada awal tahun 1900-an, seorang
ahli fisiologi bernama Ivan Pavlov dari Rusia, tertarik untuk meneliti
bagaimana tubuh mencerna makanan. Dalam eksperimen penelitianya. Ia secara
rutin meletakkan bubuk daging dan mulut seekor anjing, yang menyebabakan anjing
tersebut mengeluarkan air liur. Anjing ini ternyata mengeluarkan air liur
sebagai respons dari beberapa rangsangan yang berkaitan dengan makanan.
Pavlov menyadari bahwa asosiasi antara
penglihatan dan pendengaran dengan makanan merupakan jenis belajar yang sangat
penting, yang kemudian dikenal dengan nama pengkondisian klasik. Komponen yang
tidak dipelajari dari pengkondisian klasik didasarkan pada bahwa perilaku
anjing meliputi komponen yang di pelajari dan tidak dipelajari. Komponen yang
tidak dipelajari dari pengkondisian klasik didasarkan pada bahwa beberapa
rangsangan secara otomatis menghasilkan respons tertentu, terlepas dari
pembelajaran sebelumnya, dengan kata lain, respons-respons ini merupakan
respons yang alami atau bawaan sejak lahir. Gerakan refleks merupakan gerakan
yang mewakili hubungan otomatis antara rangsangan dan respons (King, 2010).
Pada eksperimennya, Pavlov memasang
sebuah selang pada kelenjar liur seekor anjing untuk mengukut jumlah produksi
air liur anjing tersebut. Ia kemudian membunyikan sebuah bel dan setelah
beberapa saat kemudian, Pavlov memberikan makanan kepada anjing tersebut
beberapa kali dan direncanakan dengan sangat hati-hati. Pada awalnya, anjing
tersebut akan mengeluarkan air liur ketika makanan telah dimunculkan. Tidak
lama kemudian, anjing tersebut mengeluarkan air liur ketika mendengar suara
bel. Bahkan, ketika Pavlov menghentikan pemberian makanan, anjing tersebut
masih mengeluarkan air liur setelah mendengar suaara bel. Anjing tersebut telah
mengalami pengkondisian klasik dalam mengeluarkan air liur setelah mendengar
bel (Atkinson, dkk, 1983).
C. Proses
Terjadinya Pengkondisian Klasik
Menurut Davidoff (1981) ada empat
elemen yang terlibat dalam teori pengkondisian klasik, yaitu:
1.
Elemen
pertama dinamakan stimulus tak bersyarat atau UCS (Unconditioned Stimulus), adalah
suatu rangsangan pencetus yang menghasilkan respons secara otomatis. Contoh
yang paling mudah adalah ketika apabila di dalam mulut terdapat makanan maka
akan merangsang keluarnya air liur, baik pada hewan maupun manusia.
2.
Suatu
rangsangan terkondisikan atau CS(Conditioned Response), adalah suatu
kejadian, obyek, atau pengalaman yang tidak memancing munculnya respons tak
bersyarat pada permulaannya. Rangsangan netral ini harus dipasangkan dengan
rangsangan tak bersyarat. Umpamakan saja bahwa sebuah bel akan berbunyi di
siang hari beberapa detik sebelum anjing memakan makanannya. Suara bel itu
merupakan satu rangsangan netral karena pada permulaannya tidak memancing
keluarnya air liur.
3.
Respons
tak bersyarat atau UCR (Unconditioned Response), merupakan suatu respons
yang secara otomatis akan muncul akibat adanya rangsangan tak bersyarat (US)
dalam contoh di atas adalah keluarnya air liur.
4.
Setelah
rangsangan netral itu dipasangkan dengan rangsangan tak bersyarat, maka
rangsangan netral tadi akan dapat memancing pula respons yang sama dengan
respons tak bersyarat, yang dinamakan respons bersyarat atau CR (Conditioned
Response). Respons bersyarat ini biasanya tidak selengkap respons tak
bersyarat dan lebih ringan. Sebagai contoh, bila suara bel selalu terdengar
sebelum adanya makanan, maka bunyi dering itu sendiri sudah akan dapat
menimbulkan keluarnya air liur.
D.
Prinsip-prinsip Teori Pengkondisian Klasik
Beberapa prinsip yang digunakan
dalam teori pengkondisian, baik klasik maupun operan, antara lain (King, 2010) :
1. Akuisisi
Dalam pengkondisian klasik ini merupakan pembelajaran awal dari
hubungan antara rangsangan-respons. Pembelajaran ini meliputi sebuah rangsangan
netral yang diasosiasikan dengan UCS, dan kemudian menjadi rangsangan yang
dikondisikan (CS) yang menghasilkan CR. Dua hal penting dalam proses akuisi
adalah waktu dan kemungkinan / prediktabilitas.
Selang waktu antara CS dan UCS merupakan salah satu hal penting
dalam pengkondisian klasik. Selang waktu tersebut menggambarkan kesinambungan
atau keterhubungan ransangan dalam
ruang dan waktu. Respons yang dikondisikan terbentuk ketika CS dan UCS saling
berlanjut, muncul secara dekat atau hampir bersamaan. Sering kali, jarak waktu
yang optimal antara CS-UCS hanyalah sepersekian detik. Dalam eksperimen Pavlov,
jika bel berbunyi 20 menit setelah makanan diperlihatkan, maka anjing tersebut
mungkin tidak akan mengasosiasikan bek dengan makanan.
Rescorla(1928 dalam King, 2010)menyakini bahwa agar sebuah
pengondisian klasik terjadi, tidak hanya dibutuhkan selang waktu singkat antara
CS-UCS, namun juga dibutuhkan suatu kemungkinan. Kemungkinan (contingency)
dalam pengondisian klasik memiliki arti kemunculan satu rangsangan di ikuti
dengan rangsangan yang lain dapat diramalkan. Pada contoh sebelumnya, cahaya
kilat, biasanya di ikuti dengan bunyi gemuruh halilintar. Hal ini membuat kita
menutup telinga kita saat melihat cahaya kilat, sebagai antisipasi datangnya
bunyi gemuruh halilintar.
2. Generalisasi dan Diskriminasi
Pavlov menemukan bahwa anjing
mengeluarkan air liur tidak hanya disebabkan oleh bunyi bel, tetapi juga dapat
disebabkan oleh bunyi lain, seperti bunyi siulan.Generalisasi
(generalization)dalam pengondisian klasik merupakan kecenderungan sebuah
rangsangan baru yang mirip dengan rangsangan yang kondisikan asli, menghasilakn
respons yang sama dengan respons yang dikondisikan.
Generalisasi rangsangan tidak slalu
bersifat menguntungkan. Contohnya, seekor kucing yang menggeneralisasikan bahwa
ikan kecil tidak berbahaya, akan menemui masalah ketika bertemu dengan ikan
piranha.
Diskriminasi (diskriminasi) dalam
pengondisian klasik merupakan sebuah proses belajar untuk merespons beberapa
rangsangan tertentu dan tidak merespons
yang lain (King, 2010).
3. Pelenyapan dan Pemulihan Secara Spontan
Setelah mengkondisikan seekor anjing
untuk mengeluarkan air liur ketika mendengar bunyi bel, Pavlov membunyikan bel
berulang-ulang dalam suatu sesi dan tidak memberikan makanan sama sekali.
Hasilnya adalah Pelenyapan, saat dalam pengondisian klasik yang
berarti melemahnya respons yang dikondisikan disebabkan oleh hilangnya
rangsangan yang tidak dikondisikan.
Pelenyapan tidak selalu berarti
berakhirnya respons yang dikondisikan. Keesokan harinya, setelah Pavlov
menghilangkan air liur sebagai respons yang dikondisikan dari bunyi bel, Pavlov
membawa anjing tersebut ke laboratorium dan membunyikan bel, namun tetap tanpa
memberikan bubuk daging. Anjing tersebut mengeluarkan air liur, menandakan
bahwa respons yang sebelumnya telah punah dapat secara spontan muncul kembali. Pemulihan
spontan (spontaneous recovery) adalah proses pengondisian klasik saat
respons yang dikondisikan kembali dapat muncul setelah ada jeda waktu beberapa
saat tanpa dilakukannya pengondisian lebih lanjut (King, 2010).
Untuk memperkuat pemahaman anda
mengenai akuisisi, generalisasi, diskriminsasi, dan pelenyapan dalam
pengondisian klasik, berikut ini adalah contoh bagaimana konsep-konsep diatas
terefleksikan dari pengalaman seorang anak yang pergi ke dokter gigi (Atkinson,
dkk, 1983):
1.
Akuisisi:
Seorang anak belajar untuk takut (CR)
pergi ke ruang dokter gigi, dengan mwngasosikan kunjungan tersebut dengan
respons emosional yang tidak dipelajari (UCR) terhadap rasa sakit ketika
mengalami pembersihan karang gigi (UCS).
2.
Generalisasi:
Anak tersebut takut terhadap semua ruangan dokter gigi dan tempat-tempat yang
mirip, termasuk ruang dokter umum dan orang dewasa didalamnya yang memakai
pakaian medis berwarna putih, yang memiliki bau-bau dan bunyi-bunyian tertentu.
3.
Diskriminasi:
Anak tersebut pergi ke ruang dokter yang merupakan dokter Ibunya, dan belajar
bahwa tidak ada asosiasi rung tersebut dengan rasa sakit dari UCS.
4.
Pelenyapan:
Anak tersebut dari waktu ke waktu pergi ke dokter gigi beberapa kali dan tidak
memiliki pengalaman menyakitkan, sehingga rasa takut anak tersebut terhadap
ruangan dokter gigi hilang, setidaknya untuk sementara, sampi anak tersebut
mengalami pengalaman menyakitkan lagi ketika karang gigimya diberi perawatan.
E. Kesimpulan
Teori conditioning
ataucontiguity menekankan bahwa belajar terdiri atas pembangkitan
respons dengan stimulus yang pada mulanya bersifat netral atau tidak memadai.
Melalui persinggungan (contiguity) stimulus dengan respons, stimulus
yang tidak memadai untuk menimbulkan respons tadi akhirnya mampu menimbulkan
respons.
Dalam proses pembelajaran menurut teori
pengondisian, terdapat teori pengkondisian klasik. Teori ini menekankan bahwa
suatu organisme belajar mengasosiasikan hubungan antara dua rangsangan, suatu
peristiwa terjadi setelah peristiwa lain. Sementara prinsip-prinsip teori
pengkondisian antar lain: akuisisi, generalisasi, diskriminisasi, dan
pelenyapan dalam pengondisian klasik.
DAFTAR PUSTAKA
Atkinson,
R.L., Atkinson, R.C., dan Hilgard E.C. (1983). Pengantar Psikologi.
Jakarta: Erlangga
Davidoff, L.L.(1981). Psikologi: Suatu Pengantar. Jakarta:
Erlangga
Hamalik, O.(1992). Psikologi Belajar dan Mengajar. Bandung:
Sinar Baru
Muhid,
A., Fauziyah, N., Balgies, S., dan Mukhoyyaroh, T.(2013). Psikologi Umum.
Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press
Wade, C., dan Tavris, C. (2007).Psikologi: Edisi Ke-9.
Jakarta: Erlangga
iain copas
BalasHapusizin copas
BalasHapus