- Pengertian Nasakh, Nasikh & Mansukh
Berdasarkan
buku Studi Al-Qur’an yang disusun oleh Tim Penyusun MKD UIN Sunan Ampel
Surabaya, “Nasakh” secara bahasa dapat diartikan menghapus, menghilangkan,
mengganti, menukar, memalingkan, memindahkan, menyalin, dan mengutip.
Belum
ada kesepakatan di antara para ulama mengenai pengertian nasakh, baik menurut
bahasa ataupun istilah, sehingga banyak terdapat makna untuk masing-masingnya.
Menurut etimologi, kata “Nasakh’ mempunyai sedikitnya empat macam makna,
sebagai berikut:
a) Menghapuskan
sesuatu atau menghilangkannya.
b) Memindahkan
sesuatu yang tetap sama.
c) Menyalin/mengutip.
d) Mengubah
dan membatalkan sesuatu dengan menempatkan sesuatu yang lain sebagai gantinya.
Dari
empat macam arti di atas, ternyata hanya ada satu arti “Nasakh” yang relevan
dengan arti menurut istilah, yakni mengubah sesuatu ketentuan/hukum dengan cara
membatalkan ketentuan hukum yang ada,
diganti dengan hukum baru yang lain ketentuannya (Abdul Djalal, 2013:111).
Para
ulama pun berbeda pendapat dalam menentukan makna “Nasakh” menurut istilah.
Setidaknya ada empat macam pengertian “Nasakh” menurut istilah, sebagai
berikut:
a) Nasakh
secara umum, yaitu membatalkan hukum yang diperoleh dari ketentuan dalil yang
pertama, dibatalkan dengan ketentuan ketentuan dalil yang datang kemudian.
b) Nasakh
secara singkat, yaitu menghapuskan hukum syarak dengan memakai dalil syarak
juga.
c)
Nasakh secara
lengkap, yaitu menghapuskan hukum syarak dengan memakai dalil syarak dengan
adanya tenggang waktu, dengan catatan kalau sekiranya tidak ada nasikh itu,
tentulah hukum yang pertama akan tetap berlaku.
d)
Definisi nasakh
yang salah, seperti yang diberikan sebagian ulama yang kurang setuju adanya
nasakh. Mereka mendefinisikan dengan membatasi keumuman nash yang terdahulu
atau menentukan arti lafal mutlaknya dengan nash yang kemudian.
Sedangkan
“Nasikh” menurut bahasa berarti sesuatu yang menghapuskan, menghilangkan, atau
yang memindahkan atau yang mengutip/menyalin serta mengubah dan mengganti.
Jadi, hampir sama dengan pengertian nasakh menurut bahasa seperti yang telah
diterangkan di atas. Bedanya, nasakh itu adalah masdar, sedangkan nasikh adalah
isim fa’il, yang berarti pelakunya. Ada beberapa hal yang terdapat dalam naskh
(Ahmad Syadali, 2000:160-161), antara lain:
a) Nasakh
yang terdapat pada perintah dan larangan
b) Nasakh
tidak terdapat dalam akhlak dan adab yang didorong Islam adanya.
c) Tidak
terjadi pada akidah, seperti zat-Nya, sifat-Nya, kitab-kitab-Nya, hari akhir
d)
Tidak pula
mengenai khabar sharih (yang jelas dan nyata). Umpamanya mengenai janji baik
Allah SWT bagi orang yang bertakwa adalah masuk surga, dan janji jahat Allah
SWT bagi orang yang mati kafir atau musyrik adalah neraka.
e)
Tidak terjadi
mengenai ibadat dasar dan muamalat, karena semua agama tidak lepas dari
dasar-dasar ini.
Ada
dua makna Nasikh menurut istilah, yaitu:
a)
Nasikh ialah
hukum syarak atau dalil syarak yang
menghapuskan/mengubah hukum/dalil syarak yang terdahulu dan menggantinya
dengan ketentuan hukum baru yang di bawahnya.
b)
Nasikh ialah
Allah SWT. Artinya, bahwa sebenarnya yang menghapus dan menggantikan
hukum-hukum syarak itu pada hakikatnya ialah Allah SWT, tidak ada yang lain.
Sebab, dalam hukum syarak itu hanya dari Allah SWT, tidak dari yang lain, dan
juga tidak diubah atau diganti oleh yang lain.
Sementara
makna Mansukh menurut etimologi berarti yang dihapus, yang digantikan atau yang
diubah (Kadar M. Yusuf, 2012:108). Sedangkan menurut istilah para ulama,
mansukh ialah hukum syarak yang diambil dari dalil syarak yang pertama, yang
belum diubah dengan dibatalkan dan diganti dengan hukum dari syarak baru yang
datang kemudian. Tegasnya, dalam mansukh itu adalah berupa ketentuan hukum
syarak pertama yang telah diubah dan diganti dengan yang baru, karena adanya
perubahan situasi dan kondisi yang menghendaki perubahan dan penggantian hukum
tadi.
Dari
definisi-definisi yang ada, para ahli ushul fiqih menyatakan bahwa naskh bisa
dibenarkan bila memenuhi kriteria berikut (Rosihon Anwar, 2013:165) :
a)
Pembatalan harus
dilakukan melalui tuntutan syarak yang mengandung hukum dari Allah dan
Rasul-Nya yang disebut nasikh (yang menghapus). Dengan demikian, habisnya masa
berlaku hukum yang disebabkan wafatnya seseorang tidak dinamakan naskh.
b)
Yang dibatalkan
adalah syarak yang disebut mansukh (yang dihapus).
c)
Nasikh harus
datang kemudian (terakhir) dari mansukh. Dengan demikian, istisna
(pengecualian) tidak disebut naskh.
Disimpulkan
dari berbagai uraian di atas, bahwa dalam naskh diperlukan syarat-syarat
berikut:
a) Hukum
yang mansukh adalah hukum syarak
b) Dalil
penghapusan hukum tersebut adalah khitab syar’i yang datang lebih kemudian hari
dari khitab yang hukumnya mansukh
c)
Khitab yang
mansukh hukumnya tidak terikat/dibatasi dengan waktu tertentu. Sebab jika tidak
demikian maka hukum akan berakhir dengan berakhirnya waktu tersebut. Dan yang
demikian tidak dinamakan naskh (Manna’ Khalil al-Qattan, 2011:327).
- Kontroversi Tentang Adanya Nasikh-Mansukh dalam Al-Qur’an
Adanya
Nasikh-Mansukh masih mengandung kontroversi baik dari segi teori maupun
pendapat para ulama. Beberapa kontroversi Nasikh-Mansukh dari segi teori adalah
sebagai berikut:
a) Munculnya
isu Nasikh-Mansukh dalam as-Sunnah
b)
Para sahabat
menggunakan istilah Nasikh-Mansukh dalam Al-Qur’an dan yang dikehendaki ialah
pentakhsisan dari yang’Am, pentaqyidan dari yang mutlak, dan pentafsilan dari
yang mujmal.
c) Adanya
ayat-ayat yang sepintas menunjukkan gejala kontradiksi.
Tanggapan
atas teori nasikh-mansukh tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam empat
kelompok atas dasar penggunaan etimologi maupun terminologi sebagai berikut:
a) Menggunakan
makna “menghapus suatu hukum syarak dengan dalil syarak”.
b)
Menggunakan
makna at-Tabdil (pergantian/penukaran/pengalihan/pemindahan ayat hukum di
tempat ayat hukum yang lain). Dalam arti bahwa semua ayat Al-Qur’an tetap berlaku,
tidak ada kontradiksi, yang ada hanya pergantian hukum bagi masyarakat atau
orang tertentu, karena kondisi yang berbeda. Dengan demikian, ayat hukum yang
tidak berlaku bagi orang lain yang kondisinya sama dengan kondisi mereka
semula.
c)
Bermakna
penangguhan hukum, sebagaimana pendapat az-Zarkasyi yang menyatakan bahwa
setiap perintah yang datang wajib kita ikuti saat kita memperoleh ‘illat, dan
bila ‘illatnya hilang maka kita boleh berpindah kepada hukum yang lain.
d) Menggunakan/mengidentifikasikan
dengan takhsis.
Adapun
kontroversi nasikh-mansukh dari segi pendapat para ulama adalah adanya
pendukung teori nasikh-mansukh dalam konteks makna yang pertama
(penghapusan/hukum tidak berlaku lagi).
Dasar
teori nasikh-mansukh dalam konteks makna tersebut antara lain:
a)
Adanya kenyataan
bahwa beberapa ayat ada yang menunjukkan gejala kontradiksi. Misalnya dalam
penelitian an-Nahas (388 H), terdapat ayat yang berlawanan dengan ayat-ayat
yang lain berjumlah seratus ayat, sehingga menurutnya realitas yang ditemukan
tersebut mengindikasikan adanya ayat-ayat yang di-mansukh. Kemudian jauh
sesudahnya, as-Sayutiy (911 H) hanya menemukan duapuluh ayat saja. Selanjutnya
ash-Shawkany (1250 H) bahkan hanya menemukan delapan ayat saja yang tidak mampu
dikompromikan.
b)
Penolak teori nasikh-mansukh
yang memahaminya dalam konteks makna ke-empat yang dipelopori oleh Abu Muslim
al-Asfahany. Mereka antara lain:
1) Abu
Muslim al-Asfahany (322 H)
2) Fakhruddin
al-Razy
3) Syekh
M. Abduh (1325 H)
4) Dr.
Taufiq Sidqi
5) Ustadz
Khudari
6) Teungku
M. Hasbi ash-Shiddieqy
Alasan mereka antara
lain:
a)
Jika di dalam
Al-Qur’an ada ayat-ayat yang mansukhah berarti membatalkan sebagian isinya.
Membatalkan itu berarti menetapkan bahwa di dalam Al-Qur’an ada yang
batal/salah.
b)
Al-Qur’an adalah
syariat yang diabadikan hingga akhir zaman dan menjadi hujjah bagi manusia
sepanjang zaman. Karena itu, tidaklah layak bila di dalamnya terdapat ayat-ayat
yang mansukhah. As-Sunnah boleh, karena sebagiannya datang untuk sementara.
c)
Kebanyakan
ayat-ayat yang tertuang di dalam Al-Qur’an bersifat kulliyyah bukan
juz’iy-khas, dan hukum-hukumnya di dalam Al-Qur’an diterangkan secara ijmali
bukan secara khas.
d)
Al-Qur’an tidak
memastikan kepada adanya naskh ayat Al-Qur’an, karena mungkin ayat yang
dimaksud adalah:
1) Mukjizat
2)
Kitab-kitab suci
terdahulu seperti Taurat, Injil, dan sebagainya. Yang dinasikh hukumnya oleh
syariat Nabi Muhammad SAW.
3)
Makna nasikh
dalam arti memindahkan/mengutip/menukil ayat-ayat dari lauh mahfudz kepada
Nabi, yang kemudian ditulis ke dalam mushaf.
4)
Makna naskh jika
berarti mengangkat hukum, dan ayat Al-Qur’an maka hal itu tidak berarti telah
terjadi, namun hanya menunjukkan kemungkinan/kebolehan nasikh.
e)
Adanya ayat-ayat
yang sepintas nampak kontradiksi, tidak memastikan adanya naskh. Karena
ayat-ayat tersebut semakin mampu dibuktikan pengompromiannya dengan sedikit
memberikan takwil atau penafsiran di dalamnya.
Imam
Fakhrurazi berkata : “Nasakh bagi kita dapat terwujud secara akal dan riwayat,
berbeda dengan Yahudi, sebab di angtara mereka ada yang mengingkarinya dan ada
yang membolehkannya.”
Sementara
mayoritas ulama Islam sepakat adanya Naskh. Mereka beralasan bahwasanya
dalil-dalil yang menunjukkan atas kenabian Nabi Muhammad SAW, dan kenabian
beliau tidak dapat dianggap benar kecuali dengan menaskah syariat-syariat Nabi
sebelumnya. Sehingga dengan demikian nasakh tetap wajib adanya.
- Macam-Macam Nasakh dalam Al-Qur’an
Ada
tiga macam/bentuk nasakh dalam Al-Qur’an (Muhammad bin Alawi al-Maliki
al-Hasni, 1999:206-211) antara lain:
a)
Ayat yang bacaan
dan kandungan hukumnya dinasakh. Aisyah RA berkata, “Termasuk bagian yang
diturunkan (ayat Al-Qur’an) adalah sepuluh radh’at (isapan susuan), kemudian
dinasakh dengan lima isapan susuan. Setelah itu Rasulullah SAW wafat. Ayat itu termasuk yang masih dibaca
(diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim).” Sebagian yang mengatakan bahwa ungkapan
“ayat itu termasuk yang masih dibaca” menunjukkan bahwa bacaannya masih ada di
dalam Al-Qur’an. Padahal bukan itu maksudnya. Maksud yang sebenarnya adalah
bahwa menjelang kewafatan Nabi, bacaan ayat itu pun sebenarnya sudah dinasakh,
hanya saja informasinya baru sampai ke seluruh orang setelah Nabi wafat. Ketika
wafat, masih ada sebagian orang yang membacanya.
b)
Ayat yang
kandungan hukumnya saja yang dinasakh, sementara bacaannya tidak. Bagian inilah yang banyak ditulis oleh
beberapa pengarang kitab. Pada hakikatnya, jumlah ayat yang masuk ke dalam
bagian ini hanya sedikit. Kebanyakan orang memasukkan beberapa ayat ke
dalamnya. Para pakar, seperti al-Qadhi Abu Bakr bin al-Arabi memberi penjelasan
yang meyakinkan tentang ini. Contoh ayat yang masuk dalam bagian ini adalah:
c)
Ayat yang bacaannya
saja yang dinasakh, sementara kandungan hukumnya tidak. Sebagian orang bertanya
apakah hikmah keberadaan bagian yang ketiga ini? Mengapa bacaannya tidak ditetapkan saja agar orang-orang
mengamalkan kandungan hukumnya serta memperoleh pahala dengan membacanya?
Jawabannya adalah untuk menguji kadar ketaatan umat terhadap satu ketentuan
hukum yang ditetapkan berdasarkan dugaan semata dan segera melaksanakannya
tanpa meminta perincian lebih lanjut. Sebagaimana yang dilakukan oleh Ibrahim
ketika bergegas hendak menyembelih anaknya, Ismail. Padahal perintah
penyembelihan itu diperolehnya lewat mimpi. Mimpi, seperti dimaklumi, adalah
jalan wahyu yang terendah.
Banyak
sekali ayat yang tergolong dalam bagian yang ketiga ini. Abu Ubaidah bin Jarrah
mengatakan bahwa Ismail bin Ibrahim dari Ayyub dari Nafi dari Ibnu Umar
menyampaikan sebuah riwayat kepadanya. Ibnu Umar berkata, “Ada di antara kalian
yang mengatakan bahwa saya sudah menghafal seluruh Al-Qur’an. Ia tidak tahu
bahwa banyak (bacaannya) telah hilang (dinasakh). Ia seyogianya mengatakan saya
sudah menghafal sebagian Al-Qur’an yang bacaannya masih ada (dalam mushaf).”
Abu Ubaidah bin Jarrah pun mengatakan bahwa Ibnu Abi Maryam dari Ibnu Lahi’ah
Ibnu al-Aswad dari Urwah bin Zubair dari Aisyah menceritakan sebuah riwayat
kepadanya. Aisyah berkata, “Pada zaman Nabi, surat al-Ahzab terdiri dari 200
ayat. Ketika Utsman menulisnya dalam mushaf, jumlah ayatnya seperti yang
sekarang.”
Para
ulama yang mendukung teori nasikh-mansukh menyebutkan macam-macamnya (Moh. Ali
Aziz, 2012:160), antara lain:
a)
Penghapusan ayat
yang terkait dengan sumber hukum, yaitu penghapusan ayat Al-Qur’an oleh ayat
yang lain, penghapusan hadis oleh ayat Al-Qur’an, penghapusan hadis oleh hadis,
dan penghapusan ayat oleh hadis. Teori yang terakhir ini masih diperdebatkan
oleh para ulama, karena status hadis yang lebih rendah dipermasalahakan jika
menghapus ayat Al-Qur’an yang statusnya lebih tinggi.
b)
Penghapusan ayat
Al-Qur’an dikaitkan dengan sasarannya, yakni bacaan ayat dan hukumnya. Karenanya,
mereka memilah penghapusan ayat antara penghapusan hukum, bukan bacaanya;
penghapusan bacaan, bukan hukumnya; dan penghapusan hukum sekaligus bacaanya.
c)
Penghapusan ayat
yang dikaitkan dengan status ayat. Ada penghapus ayat yang seimbang hukumnya,
ada yang lebih ringan, ada yang lebih berat, bahkan ada ayat yang dihapus tanpa
ada penggantinya.
Berdasarkan
kejelasan dan cakupannya, naskh dalam Al-Qur’an dibagi menjadi empat macam,
yaitu:
a)
Naskh sharih,
yaitu ayat yang secara jelas menghapus hukum yang terdapat pada ayat terdahulu.
b)
Naskh dhimmy,
yaitu jika terdapat dua naskh yang saling bertentangan dan tidak dikompromikan,
dan keduanya turun untuk sebuah masalah yang kemudian sama, serta keduanya
diketahui waktu turunnya, ayat yang
datang kemudian menghapus ayat yang terdahulu.
c)
Naskh kully,
yaitu menghapus hukum yang sebelumnya secara keseluruhan.
d)
Naskh juz’iy,
yaitu menghapus hukum umum yang berlaku bagi semua individu dengan hukum yang
hanya berlaku bagi sebagian individu, atau menghapus hukum yang bersifat mutlak
dengan hukum yang muqayyad.
Adapun
dari segi otoritas, mana yang lebih berhak menghapus sebuah nash, para ulama
membagi naskh ke dalam empat macam, antara lain:
a)
Naskh Al-Qur’an
dengan Al-Qur’an, para ulama sepakat dengan kebolehannya.
b)
Naskh Al-Qur’an
dengan as-Sunnah. Bagi kalangan ulama Hanafiyah, naskh semacam ini
diperkenankan bila sunnah yang menghapusnya sunnah mutawatir atau masyhur.
c)
Naskh as-Sunnah
dengan as-Sunnah. Bagi al-Qaththan, pada dasarnya, ketentuan naskh dalam ijma’
dan qiyas itu tidak ada dan tidak diperkenankan. Dalam jenis nasakh ini, ada
empat kemungkinan, yaitu:
1)
Nasakh sunnah
yang mutawatirah dengan yang mutawatirah.
2)
Nasakh sunnah
yang ahad.
3)
Nasakh sunnah
yang ahad dengan yang mutawatirah.
4)
Nasakh yang
mutawatirah dengan yang ahad.
- Cara Mengetahui Nasakh dan Mansukh
Cara
untuk mengetahui nasakh dan mansukh dapat dilihat dengan cara-cara sebagai
berikut (Abu Anwar, 2012:53-54) :
a)
Keterangan tegas
dari Nabi atau sahabat.
b)
Kesepakatan umat
tentang menentukan bahwa ayat ini nasakh dan ayat itu mansukh.
c)
Mengetahui mana
yang lebih dahulu dan kemudian turunnya dalam perspektif sejarah.
Nasakh
tidak dapat ditetapkan berdasarkan ijtihad, pendapat mufassir, atau keadaan
dalil-dalil yang secara lahir tampak kontradiktif, atau terlambatnya keislaman
seseorang dari dua perawi.
Ketiga
persyaratan tersebut merupakan faktor yang sangat menentukan adanya nasakh dan
mansukh dalam Al-Qur’an. Jadi, berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami
bahwa nasakh-mansukh hanya terjadi dalam lapangan hukum dan tidak termasuk
penghapusan yang bersifat asal (pokok).
- Contoh Nasikh-Mansukh
Sebagai
contoh, pada permulaan kerasulan Muhammad SAW, kaum Muslimin diperintahkan
untuk bersikap ramah kepada Ahlul Kitab (Allamah M.H. Thabathaba’i, 1997:60) ,
sebagaimana firman Allah:
Artinya:
“Sebahagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu
kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri
mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka maafkanlah dan biarkanlah
mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa
atas segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah: 109).
Kemudian
ketentuan ini dicabut, dan kaum Muslimin diperintahkan untuk memerangi mereka,
sebagaimana firman-Nya SWT:
Artinya:
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, yang
tidak mengharamkan apa yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya, dan yang tidak
beragama dengan agama yang benar, yaitu di antara orang yang al-Kitab diberikan
kepada mereka.” (QS. At-Taubah : 29).
Alasan nasakh yang kita terima
adalah suatu hukum dikeluarkan untuk suatu kemaslahatan dan untuk dilaksanakan,
sampai manusia menyadari kesalahannya, dan kemudian satu hukum lain diberikan,
menggantikan hukum sebelumnya. Nasakh seperti ini bukanlah jenis nasakh yang
dengannya kekeliruan bisa dinisbatkan kepada Allah Yang Mahasuci dari kebodohan
dan kesalahan. Nasakh yang demikian ini juga tidak terdapat dalam ayat-ayat
Al-Qur’an, sebab ayat-ayat tersebut tidak mengandung pertentangan antara satu
dengan lainnya. Tetapi arti nasakh dalam Al-Qur’an ialah berakhirnya waktu
berlakunya hukum yang dinasakh. Artinya bahwa hukum yang pertama memiliki suatu
kemaslahatan dan pengaruh tersebut. Mengingat Al-Qur’an diturunkan secara
bertahap dalam berbagai situasi selama dua puluh tiga tahun, maka jelaslah
bahwa Al-Qur’an mengandung hukum-hukum seperti itu.
KESIMPULAN
Nasakh
adalah penghapusan hukum syarak dengan khitab syarak pula, atau penghapusan
hukum syarak dengan dalil syarak yang
lain. Ada empat rukun nasakh, yaitu adat nasakh, nasikh, mansukh, dan mansukh
‘anh. Syarat terjadinya naskh juga ada empat. Pertama, yang dibatalkan adalah
hukum syarak. Kedua, pembatalan itu datangnya dari tuntutan syarak. Ketiga,
pembatalan hukum tidak disebabkan oleh berakhirnya waktu pemberlakuan hukum.
Ke-empat, tuntutan yang mengandung naskh harus datang kemudian.
Nasakh
dapat diketahui berdasarkan penjelasan langsung dari Rasulullah SAW maupun
keterangan yang menyatakan bahwa salah satu nash diturunkan terlebih dahulu,
serta berdasarkan keterangan dari periwayat hadis yang menyatakan satu hadis
dikeluarkan tahun sekian dan hadis lain dikeluarkan tahun sekian. Dasar-dasar
penetapan nasakh antara lain melalui kesepakatan umat bahwa ayat ini nasikh
atau mansukh serta bisa melalui studi sejarah.
Bentuk-bentuk
nasakh ada empat, yaitu naskh sharih, naskh dhimmy, naskh kully, dan naskh
juz’iy. Beberapa hikmah adanya nasakh, yaitu dapat menjaga kemaslahatan hamba,
mampu mengembangkan pensyariatan hukum sampai pada tingkat kesempurnaan,
menguji kualitas keimanan mukallaf, dan merupakan kebaikan serta kemudahan bagi
umat.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Hasni, Muhammad bin
Alawi Al-Maliki. 1999. Mutiara Ilmu-Ilmu
Al-Qur’an. Bandung: Pustaka
Setia
Al-Qattan, Manna’ Khalil.
2011. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an.
Jakarta: Mitra Kerjaya Indonesia.
Anwar, Abu. 2012. Ulumul Quran, Sebuah Pengantar. Jakarta:
Amzah.
Anwar, Rosihon. 2013. Ulum Al-Quran. Bandung: Pustaka Setia.
Aziz, Moh. Ali. 2012. Mengenal Tuntas Al-Qur’an. Surabaya:
Imtiyaz.
Djalal, Abdul. 2013. Ulumul Qur’an. Surabaya: Dunia Ilmu.
Syadali, Ahmad, dan
Ahmad Rof’i. 2000. Ulumul Quran I.
Bandung: Pustaka Setia.
Thabathaba’i, Allamah.
1997. Mengungkap Rahasia Al-Quran.
Bandung: Mizan.
Tim Penyusun MKD UIN
Sunan Ampel Surabaya. 2013. Studi
Al-Qur’an. Surabaya: UIN Sunan
Ampel Press.
Yusuf, M. Kadar. 2012. Studi Alquran. Jakarta: Amzah.
Your Affiliate Money Making Machine is waiting -
BalasHapusPlus, making profit with it is as simple as 1 . 2 . 3!
Here are the steps to make it work...
STEP 1. Choose which affiliate products you want to push
STEP 2. Add PUSH BUTTON TRAFFIC (it LITERALLY takes JUST 2 minutes)
STEP 3. Watch the affiliate products system explode your list and sell your affiliate products all by itself!
So, do you want to start making money???
Click here to activate the system